KONTAK SAYA

Pesan Terakhir

Pesan Terakhir

Oleh : Rainy Okkie 

Malam telah larut, semua lampu di rumah kecil ini sudah dipadamkan meski aku tahu semua pasang mata belum ada yang mengatup kecuali pasang mata milik Hin Hin yang masih bocah. Sudah pasti tak hanya aku yang tak bisa tidur malam ini, Nyonya Luk Won dan Tuan Wan Hui, majikanku itu juga pasti tak bisa terpejam setelah tadi siang rumah ini dipenuhi oleh polisi dan tim penyidik. Semua gara-gara kesalahanku, yang menyebabkan kematian itu terjadi, tapi ...

Tok tok tok 

Segera kuhapus air mata yang sebenarnya sudah tak pernah menetes hampir 3 tahun ini.

"Ya Nyonya,"

"Kamu tak bisa tidur? Sudahlah istirahat tenangkan pikiranmu dan ikhlaskan kepergian sahabatmu itu, besok jawab saja kepada polisi apa yang kamu tahu tentang dia," ujar Nyonya Luk Won sembari merangkulku.

"Iya Nyonya, tapi aku sungguh tidak tahu," tukasku berat.

Sebenarnya bukan tidak tahu apa-apa tetapi aku tidak tahu bagaimana menjelaskan dan mengakui semuanya. Aku takut dipenjara, aku tidak mau ....

"Mungkin polisi mengira kamu tahu sesuatu tentang dia, kalau iya sebaiknya kamu ceritakan saja!"

"Iya Nyonya."

"Sudah sekarang istirahat!" Nyonya Luk Won menunjuk jam dinding di atas ranjang yang sudah menunjukan pukul dua dini hari, aku mengangguk dan Nyonya Luk Won menutup pintu kamar.

Suara jarum jam berdentang mantap berpacu dengan detak jantung yang berdenyut tak teratur sejak polisi-polisi itu menginvestigasiku tadi siang. Dentangan itu seperti aba-aba menanti palu hakim digetok dan menjatuhkan hukuman penjara padaku. Bila saja aku bukan orang terakhir yang menghubungi Nesa mungkin polisi itu tidak perlu memeriksaku. Dan bila saja pesan terakhir Nesa kubalas mungkin polisi tak akan pernah curiga. Sekarang aku tak punya alibi apa pun, ini sudah jelas terbaca oleh pihak kepolisian, hanya masalah waktu kapan aku siap mengakui semuanya.

"Nesa kenapa kamu melakukan itu?" gumamku lirih masih dengan air mata yang mengalir.

Tak sedetik pun aku mencoba untuk terlelap, bahkan tak boleh terlelap. Aku harus menyiapkan kalimat untuk menghentikan penyidikan polisi, tetapi seperti apa? Waktu terus berjalan dan besok pagi polisi-polisi itu akan kembali ke sini dan meminta keterangan itu. Semakin aku mencoba merangkai kalimat palsu, percakapan-percakapan yang sebenarnya terjadi antara aku dan Nesa malam itu malah semakin jelas terdengar, seperti sebuah lagu tengah diputar ulang.

Malam itu, Nesa mengirim pesan bahwa keluarganya butuh uang, semantara dia belum bayar bank. Kesal membaca pesan itu, bukannya simpati aku malah memarahi Nesa dan memaksanya untuk membayar bank dulu. Bagaimanapun aku yang jadi saksi saat dia meminjam uang di bank waktu itu dan aku tak ingin dapat masalah karenanya. 

Nesa masih saja merengek, dia menagih janjiku akan selalu siap membantunya moril dan materi. Namun aku tak bisa membantunya kali ini, bukan hanya karena aku belum gajian, tetapi membantunya merupakan tindakan yang sangat bodoh. Bagaimana dia akan mengembalikan uangku sementara gajinya tiap bulan saja sudah habis untuk membayar bank. Akhirnya kuputuskan untuk tidak membalas pesannya. Setengah jam kemudian dia pun mengirim pesan lagi.

"Kak tolong! Aku janji nanti aku ganti Kak uangnya."

Begitu bunyi pesannya. Entah kenapa aku masih tidak bisa membuka pintu hatiku, padahal bila mau, aku bisa meminta gaji lebih awal pada majikan. Namun, hati sudah membeku seperti batu, kuabaikan lagi pesan dari Nesa itu. Nesa tak menyerah, tak mendapat balasan dia pun meneleponku berkali-kali. Tetap tak kuangkat hingga Nyonya Luk Won menyuruhku mengangkatnya, mungkin dia merasa terganggu dengan HP  yang menyala berkedip-kedip di saku celana.

Berat hati akhirnya kuterima telepon dari Nesa dan bicara dengan nada sangat pelan menahan amarah. Terdengar jelas Nesa menangis sesenggukan, sesungguhnya aku bisa mengerti kekalutannya saat itu. Dia baru bekerja 4 bulan, dia punya tanggungan pada bank, sedangkan orang tuanya sudah mendesak meminta kiriman. Nesa belum berpengalaman ke luar negeri, tetapi kemengertianku itu tak juga meluluhkan hati malah aku semakin membuat Nesa kalut dengan mengancamnya.  Kalau sampai aku dicari polisi karena masalah dia dengan bank aku akan menghabisinya. Belum selesai kutumpahkan kekesalan yang sedang merasuk, telepon terputus dan setelah itu tak ada lagi telepon dan sms darinya. Awalnya aku merasa aneh dan ingin menelepon balik, namun kuurungkan. Pikirku biar minggu saja bicara langsung pada Nesa.

Tadi siang, saat aku tengah membereskan piring di dapur selepas makan siang, enam polisi datang ke rumah ini dan membuatku jantungan karena kedatangan mereka adalah untuk menginterogasiku. Aku begitu panik bila kedatangan polisi ada hubungannya dengan pihak bank. Sudah banyak sekali orang yang meminjam uang di bank menggunakan nama, nomer telepon dan alamat rumah ini sebagai saksi. Bila salah satu dari mereka ada yang telat membayar pasti aku yang akan didatangi polisi dan diminta bertanggung jawab. Ancaman terburuk, aku akan di interminit. Aku tidak mau, aku tak memakan uang itu kecuali honor sebagai saksi saja.

Ternyata bukan itu masalahnya, bukan masalah bank. Polisi menunjukan sebuah foto di HP nya dan menanyakan apakah aku mengenal wanita dalam di foto itu. Aku ragu untuk menjawab, karena aku yakin pasti ada yang tidak beres. Belum sempat aku menjawab 'tidak' polisi itu menunjukan foto selanjutnya di mana ada aku dan Nesa selfie menjulurkan lidah. Aku pun tak perlu menjawab, karena mereka sudah tahu, ini jebakan.  beruntung aku belum menjawab tidak kenal. Polisi sungguh cerdik, sekarang yang ingin aku tahu ada apa ini?

Polisi itu tak berkata apa-apa lagi melainkan memintaku masuk ke kamar, sedangkan mereka berbicara dengan kedua majikanku yang juga penasaran. Tak lama kemudian Nyonya Luk Won menyuruhku keluar dan menjelaskan bila gadis yang bersamaku di foto itu meninggal tadi malam karena jatuh dari lantai 27 di Lam Tin. Jadi berita yang tadi pagi aku lihat adalah berita kematian Nesa, itu sebabnya tak ada lagi pesan dari Nesa setelah itu.

Langit seakan runtuh, seketika mataku kabur, keringat dingin terasa mengucur membasahi kulit, suara tangisan Nesa tadi malam tiba-tiba meraung-raung di telinga. Nesa bunuh diri karena kesalahanku, dan kemarin malam saat tragedi itu terjadi aku masih tertidur nyenyak, tanpa rasa bersalah.

Pertanyaan-pertanyaan yang polisi itu berikan juga terus menghantuiku, belum lagi foto Nesa yang tergeletak di tanah dengan tubuh bersimbah darah pun kian nampak jelas.

Malam hampir habis, aku belum juga menemukan cara yang harus kulakukan, sementara rekan-rekan bisnisku juga mulai menanyakan kejadian ini. Cepat atau lambat semua pasti akan terungkap, aku tak mau disalahkan atas semua ini. Aku tidak membunuh Nesa! Aku hanya tidak membantunya, tapi siapa yang peduli? Bila mereka tahu alasan Nesa bunuh diri, pasti semua orang akan mendelik sadis padaku. Tidak akan ada yang tidak menyalahkanku bahkan mungkin aku bisa dipenjara. Tidak, aku tidak mau!

Jam menunjukan 4 dini hari, pasti Nyonya Luk Won dan suaminya sudah tertidur, Hin Hin masih pulas di ranjang bayinya. Akal pikir sudah sampai di ujung kemampuanku untuk memikirkannya. Lebih baik aku pergi membawa rahasia ini sebelum orang-orang tahu tentang tragedi yang sebenarnya. Aku membuka pintu dengan sangat berhati-hati hampir tanpa suara, lalu keluar kamar dan berjalan menuju dapur dengan sangat pelan. Sampai di jendela dapur yang biasa kupakai tempat menggantung jemuran. Kubayangkan Nesa yang saat itu tengah menjatuhkan dirinya, mungkin jendela yang berada di lantai 19 ini tak cukup tinggi untuk meremukan tubuhku seperti tubuh Nesa, tetapi aku yakin ketinggian ini akan berhasil membuatku mati seperti Nesa. Mati dan meninggalkan kisah yang aku ingin tak diketahui orang lain. Mati dan dengan begitu bisa menebus kesalahanku pada Nesa.

Aku sudah bersiap di atas bangku kecil milik Hin Hin, kutatap lekat lantai di bawah sana yang remang. Di ujung jalan masih ada orang yang berlalu lalang namun mereka tak akan melihatku di sini, inilah saatnya ...

"Ika, apa yang kamu lakukan," teriak Tuan Wan Hui yang sudah menarik tanganku hingga kami berdua terjengkang. Sekejap kemudian lampu pun menyala, menyorot diriku yang tertangkap basah sebagai tersangka yang gagal menghilangkan jejak.

Aku menangis bukan karena sakit pantatku menghantam lantai. Namun aku menangisi diriku yang kejam. Yang tak punya perasaan dan mengorbankan segalanya demi uang.

"Kami sudah khawatir kamu akan melakukan hal ini, sekarang duduklah!" perintah Nyonya Luk Won dengan nada keras.

Tuan Wan Hui memapahku ke ruang tamu, mereka membiarkan aku menangis beberapa saat. Setelah itu Nyonya Luk Won memberi segelas air dan duduk di sampingku. Merangkul pundakku seperti ibu merangkul anaknya.

"Tadi siang polisi berkata bahwa gadis itu jatuh 15 menit setelah meneleponmu, dan percakapan kalian di whatsapp tadi siang sedang dalam proses penyidikan atas bantuan TKW untuk menerjemahkannya. Tadi saat kami hampir tertidur kami mendapat kabar tentang isi percakapan itu, dan polisi sudah tahu bahwa kamu yang tahu kunci dari kejadian ini," tutur Nyonya Luk Won bagai jaksa yang sedang membaca tuduhannya padaku.

"Rumah ini sudah dalam pengawasan polisi, beberapa polisi sudah berjaga di setiap pintu exit, dan atas permintaan polisi, sepanjang malam kami juga mengawasimu lewat kamera kamar yang sengaja kami matikan lampunya. Ika, bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah, ini tidak mutlak kesalahanmu, sekarang ceritakan pada kami apa yang sebenarnya," pinta Nyonya Luk Won kemudian, sedangkan Tuan Wan Hui hanya diam memandangiku.

Aku masih tak bisa cerita, aku tak bisa. Aku hanya ingin menangis saja.

"Kamu jangan khawatir, semua akan baik-baik saja, semua perbuatan harus dipertanggungjawabkan, bila kamu tahu permainan ini atau bahkan bila kamu ikut dalam permainan ini, mau tidak mau kamu harus menyelesaikannya meski kamu kalah, tetapi itu lebih baik daripada kamu lari dan selamanya kamu tidak akan tenang," Tuan Wan Hui angkat bicara.

Masih dengan terisak aku pun menceritakan semuanya, semua tanpa ada yang kusembunyikan. Bagaimanapun inilah kenyataannya, mereka mendengarku dengan seksama entah percaya atau tidak, mungkin mereka akan segera membenciku setelah ini. Mereka tak akan menyangka bila aku tega berbuat begitu.

"Sebenarnya ini semua bukan kesalahanmu, bukan kamu yang mendorongnya jatuh, hanya saja saat itu kamu tidak bisa meredam keinginannya untuk menjatuhkan diri, tidak ada yang tahu apakah dia berniat bunuh diri setelah bertengkar denganmu, atau sudah sejak sebelumnya. Kamu harus berani mengatakan semuanya, aku rasa ini tidak akan membuatmu masuk penjara," tegas Tuan Wan Hui yang seorang wartawan.

Aku menyeka air mata yang meleleh di pipi. Aku memang bersalah dalam hal ini, mungkin bila aku berbohong saja waktu itu dan berkata akan membantu Nesa pasti dia tidak bunuh diri. Meski bukan aku yang secara langsung membuatnya jatuh, tetapi aku ikut andil dalam semua ini, aku mengakuinya Nesa, dan aku juga akan mengakuinya pada polisi, dan biarkan aku dihukum sesuai peraturan yang ada. Nesa maafkan aku, tak ada maksud memintamu mengakhiri hidup, maafkan aku Nesa. Meski sejuta maaf tak akan mampu membayar lunas kesalahanku, tetapi aku sungguh minta maaf! 

~ ***** ~
Cerpen ini juga dimuat di harian Media Rakyat (Medan) edisi 160 periode April-Mei 2015


Baca juga Sang Fotografer


Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Posting Komentar