KONTAK SAYA

Hijab Kita


"Nggak nyangka Vin, aku harus senasib sama Siti Nurbaya."

Begitulah kalimat kekecewaan yang mengakhiri ceritaku pada Vina tentang rencana Tante Mirna. Sebagai wanita yang jauh dari kategori cantik, terus terang waktu itu aku khawatir memikirkan lelaki seperti apakah yang dijodohkan denganku.

Bagiku, perjodohan sama halnya mengabarkan pada dunia ketidakmampuanku mencari pendamping, meski itu benar. Jodoh memang di tangan Tuhan, tetapi bukan berarti aku tidak berhak berikhtiar dan Vina sepakat dengan pendapat itu. Namun kini, tanggapanku atas perjodohan itu berubah dan entah darimana harus kujelaskan.

Vina terpaku bisu, aku duduk menyamping persis menghadap jalan raya, tak berani berhadapan dengannya. Mataku sibuk menangkap apa saja yang bisa dijadikan pelarian. Mengikuti laju kendaraan yang datang dari dua arah berlawanan atau berpura memperhatikan burung-burung yang sesekali hinggap di bangku sebelah.

Beberapa menit lalu, seperti halnya denganku, Vina pun terkejut saat kami bertabrakan di depan toko kosmetik ujung jalan. Aku tidak tahu dia sudah kembali ke Bandung, dan dia harus melihat keadaanku yang seperti ini.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Lihat, baju apa yang kamu pakai itu, San?" desaknya setelah lama kami hanya sibuk dengan pertanyaan masing-masing.

Aku masih menatap jalanan yang mulai nampak menguap, sungguh aku tak berani menatapnya, aku tidak punya jawaban benar untuk pertanyaan Vina. "Kapan kamu pulang, Vin? Bukannya kamu libur dua bulan?" selorohku mengalihkan perhatian.

"Kamu tidak ingin bertemu denganku lagi? Secepat itukah kamu berubah, San?"

Kuhela napas panjang, sungguh bukan itu maksud pertanyaanku, hanya saja aku belum menemukan titik mula untuk menjelaskan semuanya.

"Perjodohan itu, Vin ..."

"Kenapa? Kalau memang tidak mau, kamu berhak menolak permintaan Tante Mirna."

"Bukan itu," tukasku dan kembali ragu untuk menjelaskannya.

Aku menoleh Vina yang kemudian beralih membuang tatapannya ke bahu jalan setelah sebelumnya menghembuskan napas berat.

"Aku menginginkan perjodohan itu, Vin. Aku menyukainya."

Segera aku mengatupkan kedua tanganku ke wajah, ada rongga dalam dadaku yang terbuka tetapi segera diisi gumpalan rasa malu setelah mengakui semuanya.

"Baguslah, seperti apa orangnya, dan apa dia yang memaksamu berubah? Kuingatkan padamu, cinta itu tidak mengenal syarat," tuturnya tegas, bercampur kesal.

"Bukan begitu, Vin,"

Vina menyodorkan selembar tisu, mungkin dia pikir aku menutup muka tadi karena menangis padahal bukan.

"Tante Mirna bilang, bisa jadi lelaki itu justru akan tertarik pada Lili. Kecuali jika aku memperbaiki penampilan, kau tahu aku seperti ibu-ibu," jelasku lirih seraya memainkan tisu pemberiannya.

Meski saudara kandung, Lili memang berbeda denganku. Kulitnya putih yang diturunkan dari mama. Alisnya hitam tebal, hidungnya mungil tapi mancung dan bibirnya meski tidak terlalu tipis tapi warnanya merah jambu, manis sekali. Tubuhnya tinggi dengan berat badan ideal, tidak seperti denganku yang kata orang gajah bengkak. Begitulah mereka menjulukiku semenjak lulus SMP, tepatnya sejak tubuhku melar tanpa aturan.

Jangan tanya tentang diet, selama duduk di bangku kelas dua SMA hingga lulus, aku sudah beberapa kali mencoba diet, ternyata gagal. Aku masih lebih memilih dimanjakan masakan mama daripada merelakannya demi mendapatkan tubuh yang ideal.

"Kamu kan bisa liat respons lelaki itu saat kalian bertemu, kalau dia menyukai Lili pasti dia sudah bilang sama Tantemu, dan kalau dia justru menyukaimu, kurasa kamu tidak perlu berubah seperti ini," timpalnya tegas dan membuatku sedikit terkesiap.

"Kami belum bertemu, Vin. Tante Mirna hanya menunjukkan foto lelaki itu, jadi aku pikir masih ada waktu untuk berubah."

Vina menoleh, menatapku dengan mata bulatnya yang tajam. Ia kemudian beralih mengaduk isi tasnya dan menyodorkan selembar tisu lagi untukku dan membuatku bingung.  Aku tidak menangis Vin.

"Maskaramu ke mana-mana, bersihin dulu. Kayaknya aku sudah kehilangan Susan yang kukenal."
Vina kini menatap barisan toko di sisi lain taman. Tak peduli tentang maskara,  aku justru menangis demi mendengar ucapannya barusan. Mana Vina yang selalu ada di sampingku? Vina tentu tak bisa memahami posisiku karena dia tidak mengalami apa yang terjadi padaku.

"Semua kulakulan demi kebaikanku, Vin. Mungkin ini tidak masuk akal bagimu karena kamu tidak perlu melakukan hal-hal semacam ini untuk mendapat sebuah cinta. Kamu punya banyak kelebihan, dan seperti yang kamu lihat, aku hanya gajah-"

"Cukup, San," Vina meraih pundakku dan memaksa menatapnya, "Setiap manusia pasti punya kelebihan. Kamu lihat apa yang kamu lakukan pada dirimu? Kamu pikir cantik itu hanya soal fisik? Lelaki yang menilai kecantikan dari penampilan fisik hanya melihat wanita dari mata luar. Kalau pun dia mencintai, cinta itu akan terbatas pada bagian itu saja. Kamu tahu sampai umur berapa wanita akan terlihat cantik dan bertubuh seksi?"

Kusingkirkan tangan Vina dari pundakku. Apa yang dia katakan sangat menyakitkan. Dia tidak berada di posisiku, dia tidak tahu perasaan wanita yang terlahir dengan keadaan sepertiku karena dalam hidupnya dia tidak pernah dan tidak perlu berdoa agar Tuhan menjadikannya lebih cantik. Aku rasa duduk bersamanya sudah jadi hal sia-sia bagiku saat ini. Ini tubuhku dan sepenuhnya hidupku, dia tidak berhak mengatur dan menentukan apa pun.

Dengan memendam segumpal kekesalan aku segera beranjak tetapi tiba-tiba Vina menangis sesenggukan.

"Aku sebenarnya iri padamu. Wanita tangguh yang terjaga kehormatannya. Sahabatku yang menjaga dirinya tetap suci. Lihatlah diriku, San! Tuhan memberiku kecantikan yang layak dibanggakan, tetapi aku gagal menjaganya. Apa perlu kuhitung untukmu berapa lelaki yang sudah memegang tanganku, menikmati wajahku? Mencium pipiku untuk kemudian meninggalkanku demi menatap wajah wanita lain? Sebenarnya aku sakit hati saat kamu bilang aku wanita jalan dan murahan, tapi sungguh aku berterimakasih untuk itu. Mungkin kalau kamu tidak memergokiku malam itu aku sudah terlena jauh dalam kemaksiatan." Vina meraih tanganku dan aku pun terduduk kembali di bangku taman.

"Itu karena Tuhan yang sudah memberimu Hidayah, bukan aku."

"Melalui kehadiranmu, San. Kamu ingat gamis pemberianmu ini? Gamis pertama yang  melekat di tubuhku. Sengaja aku tidak memberi kabar tentang kepulanganku. Aku memakai gamis ini karena ingin memberimu kejutan berharap bisa membuatmu sedikit melupakan masalah perjodohan itu. Sayang malah kamu yang mengejutkanku dengan penampilanmu seperti itu."

Aku sudah tidak sanggup menahan bendungan di kelopak mataku yang terasa semakin panas. Aku tetap saja tak bisa menjadi wanita tangguh yang pandai menyembunyikan perasaan. Segera aku beranjak memeluk Vina yang tak berhenti menangis.

"Vin, aku hanya ingin dia menerimaku saat kami bertemu nanti. Aku ingin jadi wanita cantik di depannya. Kamu ingat kan rencana-rencana yang kubuat agar bisa lari dari perjodohan itu karena aku takut dia tidak sesuai dengan keinginanku? Aku juga takut dia akan melakukan hal yang sama ketika dia melihatku nanti, San."

Vina membalas pelukanku erat, kemudian melepaskannya. Dia mengusap airmatanya lalu air mataku. Perlahan dia menghapus riasan yang susah payah kupoles tadi pagi hingga  menghabiskan waktu hampir satu jam. Vina membersihkannya tanpa tersisa.

"Jodoh itu tidak akan ke mana, bila dia itu jodohmu, Tuhan akan membuatnya jatuh cinta tanpa kamu harus jadi orang lain."

Vina mulai melepas jilbab yang juga sudah kubuat mengikuti tutorial hijab moderen yang kutonton di you tube.  Vina memakaikannya lagi seperti dulu aku membantunya memakai jilbab pertama kali. Kini bagian dadaku sudah terlindung jilbab yang sengaja Vina buat agar lebih lebar.

"Inilah, Susan yang sesungguhnya. Susan yang menjaga apa yang seharusnya dijaga dan apa yang tidak seharusnya diperlihatkan. Cantik itu dari dalam hati. Hanya orang yang membutakan matahatinya bila melihat cantik itu hanya dari apa yang singgah di bola matanya."

Hong Kong, 8 Januari 2016
Catatan : cerpen ini pernah dimuat di Majalah Iqro dalam rubrik cerpen edisi September dan Oktober 2016

Baca juga Cerpen Selendang Wungu (Klik judul) 

Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Posting Komentar