KONTAK SAYA

Selendang Wungu


"Nung, ayolah kamu pikirkan lagi baik-baik. Selendang Wungu nggak bisa tampil tanpa kamu." bujuk Ratih ke sekian kalinya, dan ke sekian itu pula Enung berpegang teguh pada keputusannya.

Enung mendengarkan suara yang dihantarkan kabel earphone ke gendang telinganya dengan setengah hati. Tangan kirinya menggenggam botol cairan pembersih kaca, sementara tangan kirinya terampil mengusapkan kain basah ke permukaan jendela yang tiga hari sekali disapanya. Topik itu sudah sama sekali tidak menarik baginya bahkan hampir memuakkan. Bila saja Ratih bukan kawan lawas, sudah barang tentu dia tidak akan menyediakan telinga dan waktunya untuk mendengar bujukan-bujukan yang pada akhirnya hanya mempermalukan diri sendiri, juga sanggar.

"Tih, sebelum energimu habis percuma, coba jawab jujur pertanyaanku hari itu."

"Eh, Nung. Aku tahu betul jawaban yang kamu mau. Tapi bisakah kamu sedikit realistik dengan keadaan di sini? Selama kita bisa perform di atas pentas apa itu kurang, jika kamu memang menyadari posisi Jaipong di sini?"

Dilemparkannya kain lap ke atas meja TV, Kesal. Nyatanya setelah dua bulan berlalu teman-temannya itu juga tidak bisa menyimpulkan jawaban sesuai keinginannya. Meski sebenarnya mengerti atau tidak, tidak pula berarti banyak juga tidak merubah sedikit pun keputusan Enung. Dia hanya berharap mereka menerima alasannya ingin mundur dan berhenti menjejalinya dengan berbagai penjelasan yang ujungnya menyudutkan.

"Aku tanya sekali lagi, apa arti pentas buatmu? Menghibur penonton kan? Lalu kalau mereka justru terganggu, apa gunanya kita perform? Bagiku itu tidak lain kegagalan."

"Nung."

"Tih, please, aku tidak meminta kalian menerima pendapatku, aku hanya ingin kalian menghargai pemikiran dan keputusanku, itu saja."

Perdebatan hari itu kembali berkelebat dalam ingatan, Enung tak habis pikir bagaimana dia kemudian luluh. Mungkinkah karena kegigihan Ratih dalam membujuk dan menguraikan pengertian-pengertian yang kemudian berhasil membantah semua asumsi yang diyakininya? Atau karena menari masih jadi bagian dalam mimpinya?

Dari balik tirai, gemuruh riuh ribuan penonton terdengar memenuhi Medium Galeria, gemuruh rasa tidak sabar menikmati penampilan sang idola. Teriakan-teriakan penuh napsu yang tentu bukan ditujukan untuk gadis-gadis bergelung mungil serta dibalut kebaya dan selendang ungu di leher mereka.

Konser besar kali ini sudah ditunggu ribuan pekerja migran, juga sudah jadi perbincangan hangat berbulan-bulan. Band Bintang memang jadi primadona dengan lagu-lagunya yang romantis dan menyentuh. Sang pembawa acara mulai melahirkan kata-kata yang disambut tepuk tangan serempak dari penonton saat nama sang idola membumbung di langit-langit podium.

Tangan Enung bergetar, diremasnya kuat-kuat selendang yang terkulai di pangkuan. Dari balik bulu mata palsunya, ia melihat lagi dengan begitu jelas cuplikan pentas terakhir yang berakhir memilukan. Menjadi tamu undangan harusnya jadi kehormatan. Namun kenyataannya hukum itu tak berlaku bagi Selendang Wungu di sini, saat ini. Begitu banyak bidang yang ditekuni para pekerja migran dan tak sedikit yang menciptakan prestasi. Namun entah kenapa, Selendang Wungu tak mendapatkan sepetak ruang untuk jadi salah satu bagian darinya.

***

Hari itu, 18 Oktober 2015, gedung Sport Centre perlahan memanas ketika sesi sambutan tak kunjung usai. Sementara para penonton mulai tidak sabar dan seperti koor tanpa dikomando mereka meneriakkan satu nama Demon yang menjadi alasan utama para penonton merogoh kantong demi selembar tiket agar bisa berdiri di acara itu. Teriakan-teriakan yang semakin lama semakin menguat dan volume yang meninggi, ibarat bom waktu siap meledak.

Entah siapa yang akhirnya patut disalahkan, ketika Selendang Wungu mendapat jatah urutan ke empat dari beberapa hiburan yang akan ditampilkan. Musik baru masuk bagian inti, selendang-selendang baru saja mulai dihentakkan, pinggul-pinggul pun baru saja bisa melenggok dengan nyaman setelah para gadis berhasil menguasai diri dari rasa grogi. Namun, para penonton yang mengelilingi panggung, sudah berdiri mengacungkan jempol terbalik, meneriakkan nama Demon lalu memaksa para gadis mengembalikan panggung pada sang idola meski tarian mereka belum usai. 

Sepuluh menit saja, apakah tidak rela mereka duduk menikmati tarian yang sudah Enung dan teman-temannya siapkan selama tiga bulan itu? Tidak bisakah mereka berpura-pura menikmati dan menunggu hingga lagu usai lalu menepukkan tangan ringan? Atau bila tepuk tangan terlalu berharga, tidak bisakah mereka cukup memejamkan mata dan menutup kedua lubang telinga hingga pentas mereka selesai?

Kekalahan terberat bagi para gadis itu, ialah ketika apa yang mereka suguhkan bukanlah apa yang diinginkan. Penghinaan terendah bagi Enung, ialah ketika mereka harus turun tergesa dari panggung, padahal kehadiran mereka tak lain adalah pemenuhan atas selembar surat undangan yang datang dengan terhormat. Akan tetapi dia harus turun seperti pencuri yang tertangkap, ia telah dipermalukan dan ia kecewa.

Selenda Wungu

Podium bergemuruh
Namun hati hancur luruh
Panggung pun runtuh
Dan, Selendang Wungu terjatuh

Gadis-gadis dikebiri 
Pungut remuknya harga diri 
Lampu panggung surup, mati  
Sembunyikan para gadis sakit hati


***

"Nung," sebuah tepukan mendarat di bahu Enung. "Ingat, kali ini kita bukan menari untuk mereka, bukan demi tepuk tangan dan decak kagum mereka, apalagi sebuah pujian. Kita menari karena kita ingin menari, karena kita bahagia saat menari. Panggung itu milik kita selama kaki kita menapak di sana," jelas Ratih kembali menyadarkan Enung yang baru saja terlempar pada ingatannya tentang pentas lalu. 

"Tapi, Tih. Suara-suara dan tatapan-tatapan itu? Aku takut mendengarnya. Aku tidak bisa, Tih." Enung menurunkan tangan Ratih lalu beranjak, ia sadar, Band Bintang mendapat porsi lebih banyak di hati para penonton yang kini duduk membendung rasa tidak sabar menanti penampilan sang idola itu. Enung tidak siap, ia tidak mampu. 

Namun Ratih bergegas meraih lengannya. "Kita hanya perlu mendengarkan alunan musik, kita punya jatah masing-masing di sini. Mereka membawa mata dan telinga mereka sendiri, dan kita tidak bisa mengendalikan itu satu-satu. Melihat atau tidak, menikmati atau tidak, itu adalah tugas mereka. Yang jelas, tugas kita hanya menari."

Ratih benar, dia tentu tidak bisa memastikan ribuan pasang mata itu untuk menatap panggung dan menikmati penampilan mereka. Dia hanya perlu menampilkan yang terbaik darinya bersama Selendang Wungu, berusaha menyuguhkan daya tarik yang membuat mata hati penonton tergerak untuk mengajak netranya menikmati persembahan terbaik mereka.

Ratih merangkul bahu Enung kuat, "Kalah ialah ketika kita berhenti berusaha membuat mereka menerima apa yang kita persembahkan hanya karena satu penolakan. Ingat, kesempatan selalu ada selama kita mau membuka diri menerimanya."

Tak urung, Enung pun mengangguk. Namun, mendapat giliran ke tiga setelah dua hiburan yang juga tidak terlalu disambut gempita para penonton tetap membuat Enung seakan sulit bernapas. Sayang, sudah terlambat untuk ingkar. Kakinya sudah membawa raga yang bergetar itu ke atas panggung. Enung tahu dia harus bersiap untuk menanggung kecewa itu lagi dan mungkin itu benar-benar akan jadi pentasnya yang terakhir.

Tubuh para gadis mulai melenggok, selendang pun terayun dan jatuh gemulai. Enung mengosongkan pandangan meski bibirnya menyungging senyum. Telinganya berusaha mengumpulkan alunan musik pengiring dan menolak suara-suara lain yang berusaha menelusup dan meracuni pikirannya. Hentakan demi hentakan, beriring tarikan napas yang perlahan teratur, detik demi detik Enung mulai menerima gambaran-gambaran hidup di sekitarnya. Penonton yang sebagian besar masih duduk tenang dengan dengung suara yang bisa dibilang cukup normal. Hingga lagu melemah kemudian usai, momok yang menghantui kepercayaan dan keyakinan dirinya tak muncul dan mengganggu para gadis. Selendamg Wungu terkulai lemah setelah mereka merampungkan bagiannya.

Para gadis turun teratur, membawa hati lapang meski diiringi tepuk tangan seadanya.
Para gadis saling melempar senyum menyimpan kata-kata bahagia yang sama. Meski tidak juga berarti menang merebut perhatian dan simpati penonton, tetapi mereka telah menyelesaikan permainan dengan kemampuan terbaiknya.


"Jadi? Nggak jadi ke mana-mana kan?" tanya Ratih tiba-tiba.

Enung menatap Ratih lalu tersenyum. Ia paham apa yang dimaksud oleh Ratih. Sayangnya dia belum menemukan jawaban untuk itu. Dia belum yakin. Pentas ini mungkin memang tidak terlalu buruk, dan Enung mengakui kepercayaan dirinya sudah kembali meski ia tidak bisa meyakinkan apakah kepercayaan itu akan bersemayam lama. Dan dia masih tidak yakin akankah keberuntungan tengah ikut andil dalam pentasnya kali ini. Ia ragu apakah akan  ada keberuntungan lagi di pentas selanjutnya.

Hong Kong, 18 Januari 2016

Catatan : Cerpen ini pernah dimuat di koran Apakabar+ Hong Kong di rubrik Pojok Victori edisi bulan September 2016

Baca juga Cerpen Mawar Merah Tercantik(Klik judul cerpen)

Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Posting Komentar