KONTAK SAYA

Sang Fotografer

Sang Fotografer

Oleh : Rainy Okkie (KPKers HK)


Angin menyusup melewati jendela hembuskan kesejukan kala menyapa kulit. Lina merebahkan tubuhnya di atas kasur setelah selesai memasukan semua perlengkapan ke dalam ransel. Tiba-tiba HP-nya berdering, dia pun bangkit dan meraihnya.

"Lin istri Edo melahirkan, kamu bisa ya nemenin Susi meliput acara besok?" jelas Pak Tejo.

"Saya harap Bapak tidak lupa dengan ijin cuti saya."
"Yo Ndak  to Lin, tapi cuma kamu yang bisa nggantiin Edo, hari liburmu diganti selama tiga hari berikutnya."

Lina mendesah pelan, tak ada pilihan untuk menolak, meski ia akan kehilangan momen yang sudah ditunggu lama.

"Harus Susi?"

"Tenang, paling hubungan kalian jadi lebih baik," ujar Pak Tejo lanjut terkekeh.

"Asal tidak tambah buruk saja. Oya, dan tiga hari itu tak lunas mengganti hari esok. Kapan dan dimana liputannya, Pak?"

"Ha ha ha, bapak demen sama gayamu, Lin." Pak Tejo kembali tertawa membuat Lina kesal dan gemas akan tingkah atasannya itu.

"Gedung golkar jam 8 pagi sampai selesai." lanjutnya.

"Yakin tempatnya gedung Golkar?"

"Bapak harap kamu tidak menganggap Bapak rabun atau pikun," seru Pak Tejo nyeleneh dengan meniru gaya Lina berbicara. Mereka pun tertawa lepas dibuatnya.

Lina memandangi ranselnya yang teronggok di depan lemari, dia masih mempertimbangkan antara pulang dan tidak. Kalau pulang dia bisa mengantar Dita besok, tetapi dalam waktu yang bersamaan itu dia pun harus menjemput Susi di kantor.

"Cantik, ibu nggak jadi pulang sore ini."

“Kenapa Bu? Katanya pingin lihat ...." sahut Dita kesal.

"Ibu ada tugas mendadak, tenang pasti ibu datang." rayu Lina lembut.

"Awas kalau Ibu nggak datang!”


***

Mentari mulai merangkak naik, dengan ransel di punggung Lina mengendarai honda beatnya menuju kantor. Sampai di depan kantor Susi sudah berdiri menunggunya dengan raut wajah menyedihkan.

"Naiklah," ajak Lina setelah memindah ranselnya ke depan.

"Kalau bukan karena Pak Tejo, aku nggak akan jalan denganmu." gerutu Susi sembari naik ke motor.

"Harusnya kamu berterimakasih padaku." sahut Lina seraya menarik gas kencang dan membuat Susi hampir kehilangan keseimbangan.

"Itu tugasmu."

"Aku sedang libur, dan aku mengorbankan acara yang teramat penting jadi jangan buat hariku tambah runyam dengan tingkahmu." Lina menutup kaca helm dan konsentrasi mengendarai motornya.

Susi terdiam, menyadari betul kebenaran yang Lina katakan. Selayaknya memang dia harus berterimakasih pada Lina. Terlebih dulu dia harus minta maaf terkait pertikaiannya beberapa waktu lalu karena tuduhan bahwa Lina sudah menggoda suaminya tidak terbukti. Namun Susi tak tahu harus memulai darimana, dan lebih tepatnya dia gengsi untuk memulai perdamaian. Sementara dia mengenali karakter Lina yang tak akan mengalah dan mengaku bersalah bila dia tidak salah.

Setibanya di lokasi Lina mengendarai motornya masuk melewati pintu gerbang bercat biru menuju lapangan parkir sempit dan hampir penuh. Ternyata ajang kreasi ini juga diliput stasiun televisi, sebuah mobil berlogo RTV sudah parkir paling depan.
Lina melihat ke seluruh parkiran mengamati setiap motor berwarna biru dan memperhatikan plat nomernya. Sedikit gelisah karena motor yang dia cari belum ada di parkiran.

“Acara hampir dimulai,” ujar Susi datar.

“Aku tahu,” Lina kembali melayangkan pandangan ke parkiran berharap motor yang dia cari sudah terparkir di sana meski ia tahu belum ada motor yang masuk keparkiran setelah dia.

“Ada yang kamu tunggu?" Susi ikut menoleh ke penjuru parkiran.

“Iya, tapi masuklah!” Lina mengambil kamera dari ransel dan menggantungkannya di leher.

Mereka berdua pun melangkah ke dalam gedung yang sudah dipenuhi peserta dari tingkat SD hingga SMA. Beberapa wali murid pun turut hadir mendampingi buah hati mereka. Dalam hati Lina berharap punya kesempatan untuk itu.

Susi segera melakukan tugasnya, dia mewawancari beberapa peserta  dan panitia sementara dari jarak yang cukup dekat Lina  mengambil gambar Susi juga obyek lain yang menarik baginya, yaitu anak-anak.

Lina sangat mencintai anak-anak, meski dia wanita yang dingin tapi dia feminim. Tidak suka membicarakan hal tidak penting seperti bergosip dan dia selalu berkata seperlunya.

Acara pun dimulai, semua peserta beraksi di bidang yang diikuti. Foto model, busana adat, tari daerah, melukis dan alat musik tradisional. Dari semua stand tentu stand melukis paling hening di antara semuanya Semua peserta duduk diam di depan mejanya dengan lincah menggoreskan krayon di atas kertas lukis masing-masing.

Bertugas menjadi fotografer dalam acara seperti ini membuat Lina tak punya banyak waktu untuk mengamati peserta juga siapapun kecuali pergerakan Susi. Dia harus lincah memotret setiap obyek penting. Meski hatinya bergejolak tak karuan teringat akan Dita yang harusnya dia temani hari ini. Apakah Dita bisa berkonsentrasi, atau justru dia tengah gelisah mencarinya. Betapa bayang-bayang Dita senantiasa menggoda pikirannya.

"Kulihat kamu gelisah?” tanya Susi meletakan dua botol fanta di atas bangku panjang yang mereka duduki.

Lina menatap Susi heran, ada perubahan yang tajam dari cara bicara Susi, tak lagi meletup-letup seperti sebelumnya.

"Aku dan Martin sangat mencintai anak-anak."

"Aku tahu." Lina  mengambil satu botol Fanta lalu meminumnya.

"Itu sebabnya aku takut setiap Martin," Susi menghentikan ucapannya dan meneguk lagi minumannya. "Aku takut dia selingkuh."

"Itu tak mungkin denganku, aku sudah jelaskan itu." Lina memutar gambar-gambar yang baru saja dia ambil.

"Aku tahu, maaf-"

"Akhirnya," Lina tersenyum lega.

"Kau senang aku mengaku salah?" Susi menunduk dan sangat kecewa.

"Bukan karenamu, aku sudah melupakan peristiwa itu." Lina menoleh sejenak.

"Lalu?"

"Orang yang kutunggu ada di sini."

Lina menunjukan kameranya pada Susi, tetapi tiba-tiba panggilan dari panitia bahwa pengumuman hasil lomba siap diumumkan terdengar dari pengeras suara. Susi pun segera berlari ke pinggir dan Lina mengikutinya.

Semua berkumpul di stand tengah tak sabar menanti hasil perlombaan. Para wali murid duduk di kursi yang sudah disediakan bersama peserta dari tingkat SD.

Satu persatu pemenang dari tiap-tiap lomba pun diumumkan. Ruangan riuh dipenuhi gemuruh tepuk tangan bersahutan. Raut-raut wajah tegang yang seketika berganti bahagia atau sebaliknya pun mewarnai ruangan.

Setiap nama yang dipanggil maju ke atas panggung lalu diwawancari sesaat sebelum piala dan hadiah secara simbolis diberikan. Para walimurid pemenang pun dipersilakan berdiri setelah itu betapa rona kebahagiaan terpancar jelas dalam setiap wajah mereka.

Bagi Lina ini adalah momen yang mengharukan, momen yang ia harap bisa dia rasakan. Sejak kepulangannya dari luar negeri tiga bulan lalu, dia belum memiliki kesempatan untuk menemani Dita berlomba. Harusnya hari ini dia merasakan semua itu, tetapi takdir berkata lain.

Pengumuman terakhir ialah lomba melukis dan mewarnai tingkat SD. Susi sudah berdiri di atas panggung untuk memgambil jatahnya mewawancari para pemenang. Pada peringkat pertama gadis kecil mengenakan baju balon pink dengan rambut dikucir dua dengan pita merah jambu naik ke atas panggung.

Lina mengalihkan kamera dari depan wajahnya sesaat untuk melihat gadis yang naik ke panggung lalu kembali membidikkan kamera ke arah gadis kecil itu.

Sesekali Susi mengusap lembut rambut si gadis. Hati Lina bergetar, Susi sangat beruntung bisa melakukannya, setidaknya itu bisa menjadi penawar kerinduannya akan anak-anak.

Lina tahu ini akan jadi momen penting bagi Susi dan baginya. Ia pun tak melewatkan sedikitpun setiap ekspresi mereka. Dengan lincah Lina membidikan kamera ke arah mereka.

“Selamat ya adik manis, namanya siapa dan dari SD mana?" Susi dengan cerdik mengarahkan si gadis ke arah Lina agar tertangkap kamera.

“Syervi Aprindita dari SD Negeri 1 Karang Anyar," gadis itu tersenyum ke arah kamera tepat saat Lina menekan tombol kamera.

“Syervi kelas berapa?"

“Kelas tiga.”

“Untuk siapa hadiahnya akan dipersembahkan?"

"Karena ini hari Kartini, jadi hadiahnya spesial untuk Ibu Kartini, untuk Ibuku."

Hati Susi bergetar mendengarnya, andai saja suatu hari anaknya akan berkata hal yang sama di hadapan semua orang pasti dia akan menjadi ibu paling bahagia.

“Ibu Syervi ada di sini?" Susi merangkul si gadis kecil dan melayangkan pandangan mencari wali murid yang akan berdiri.

“Disana, fotografer cantik itu ibuku.” Dita menunjuk ke sudut ruangan. 

Susi tertegun tak berkedip menatap sudut yang dimaksud. Hanya Lina yang berdiri di sana tengah membidikan kemera ke panggung. Susi semakin tercekat ketika Lina menurunkan kamera lalu tersenyum dan membungkukkan badan diikuti tepuk tangan oleh para hadirin.

Susi melepas rangkulannya di pundak si gadis kecil. Perasaanya tak menentu, tetapi rasa yang paling jelas ialah perasaan bersalah terhadap Lina. Demi membantunya Lina telah merelakan momen penting ini. Lebih bersalahnya dia belum sepenuhnya minta maaf atas tuduhannya dulu. Lina tak mungkin merebut suaminya karena dia sudah memiliki anak yang sangat dicintainya. Justru hari ini, dia lah yang telah mengacaukan kebahagiaan mereka hari ini.

Sementara di sudut ruangan, Lina meneteskan air mata yang segera dia hapus, ingin rasanya dia berlari ke atas panggung untuk memeluk Dita. Mengusap rambutnya seperti yang dilakukan Susi.
Meski hari ini ia tak berkesempatan berdiri di sana bersama putri kecilnya dan berharap ada yang mengabadikannya lewat sebuah foto, setidaknya Tuhan mengijinkan dia melihatnya. Melihat kemenangan si gadis kecil yang dipersembahkan untuknya, wanita yang dianggap Kartini oleh putri kecilnya.

the end 

Cerpen ini juga dimuat di media Berita Indonesia (Hong Kong) edisi Mei 2015 halaman 27

Baca juga Kado Misterius



Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Posting Komentar