KONTAK SAYA

Kado Misterius

“Apa artinya harta bila harus kehilangan sesuatu yang lebih berharga dari itu? Apa artinya pengorbanan bila yang di dapat tetap kekalahan?” 

"Sahur!..sahur!...sahur!...sahur!..." seruan dan tabuhan kentong yang disuarakan Agus dan kawan-kawannya menggema di sepanjang jalanan desa.  Kali ini anak-anak yang masih duduk di bangku SD itu lebih bersemangat dari hari sebelumnya.  Dengan riang mereka berjalan menyusuri setiap gang kecil yang mereka temui.  Beberapa jam lagi suara takbir itu akan berkumandang di setiap penjuru kampung, menyambut kemenangan setelah satu bulan menjalankan ibadah puasa.

Seperti anak kecil pada umumnya, Agus menantikan hari lebaran tiba.  Karena hanya di setiap hari lebaran dia bisa bertemu dengan seseorang yang dia panggil Abang.  Sejak menikah 5 tahun lalu, Mahmud menetap di Jakarta bersama istrinya dan tinggalah Agus bersama paman dan bibinya di kampung kecil di pelosok kota Banjarnegara.  Kehidupan Agus jauh lebih baik dibandingkan teman-teman sekampungnya semenjak Mahmud menjadi orang kaya setelah menikah dengan seorang bidan di Jakarta.  Namun semua itu ternyata bukan kebahagiaan yang Agus dambakan.  Jauh dalam lubuk hatinya, dia lebih menginginkan agar abangnya mengembalikan sosok bapak kepadanya.  Dia ingin kembali menjadi anak laki-laki kebanggaan bapaknya!

"Bibi," Agus berjalan mendekati bibinya. "Sudah sampai mana abang sekarang?" tanya Agus kemudian.

"Purwokerto Gus, mungkin  dua jam lagi sampai," tegasnya sembari memasukan kayu bakar ke mulut tungku.

"Asyik...," girang Agus sambil berlari menuju kamar. 

Agus kemudian mengambil handuk dan pakaian ganti lalu bergegas menuju ke kali.  Sudah menjadi kebiasaan dia selalu berdandan rapi setiap kali menyambut kedatangan abangnya.  Seperti tahun-tahun sebelumnya, ia juga sudah menyiapkan hadiah untuk Lisa, anaknya Mahmud. Hadiah itu telah dibungkusnya rapi dan tahun ini ia juga mempunyai hadiah untuk abangnya.     

***

Matahari sudah tak menampakan sinarnya.  Agus duduk diam termangu di depan pintu, memandang jauh ke kebun salak yang menjadi halaman rumahnya.  Dua jam telah berlalu lama, namun abangnya belum juga sampai sementara kerinduan yang selama ini dia pendam sudah ingin dia curahkan. Baginya, Mahmud ialah satu-satunya keluarga yang dia miliki karena sang  ibu meninggal saat melahirkannya.  Meski Agus memiliki paman dan bibi yang selalu menyayanginya, tetapi bagaimanapun kasih sayang itu tetap tidak akan sama dengan kasih sayang orang tua sesungguhnya.  

***

Gema takbir berkumandang dari pelbagai penjuru.  Teman-teman Agus berkumpul di lapangan desa, mereka bersenda gurau, tertawa dan terbahak.  Suasana malam itu menjadi semakin indah dihiasi kembang api yang berpercikan digenggaman tangan-tangan mereka.  Namun Agus masih duduk di pintu rumahnya.  Sampai akhirnya terdengar suara sepeda motor berhenti di halaman rumah dan sontak membuat Agus bangkit dan tersadar dari lamunannya.  Ada keharuan yang nampak saat dia menyaksikan kebersamaan bapak, ibu, dan gadis kecil itu.

"Bagaimana kabar kamu Gus?," tanya Mahmud yang sudah duduk memangku anak perempuannya.
  
"Seperti yang Abang lihat," Agus berdiri sembari memamerkan baju koko juga sarung yang menempel di tubuhnya. "Saya baik-baik saja, ini semua berkat Abang,"  jawab Agus yang kemudian duduk lagi.  

"Syukurlah kalau begitu," Mahmud mengambil bungkusan plastik dari ranselnya. "Kemarin mamanya Lisa membelikan ini untukmu, berterimakasihlah padanya!" lanjutnya sambil menyodorkan bingkisan itu. Dengan membendung air mata Agus pun mengucapkan terimakasih dan menerimamya.
Suasana malam di rumah kecil itu menjadi ramai karena gelak tawa yang tergelar di sana.  Agus yang penyayang dan lemah lembut membuat Lisa betah bermain dengannya.  Namun di balik keceriaannya itu, sebenarnya ia menyimpan duka dan kerinduan yang mendalam akan kasih sayang.  Sebagai anak bergelar yatim, keluarga menjadi suatu dambaan dan kebersamaan menjadi suatu kebahagiaan yang tak ternilai. Usianya yang mulai beranjak remaja membuat Agus menyadari bahwa keindahan materi yang dia dapatkan dari abangnya terlalu murah bila dibandingkan dengan harga dari sebuah keluarga.  
Malam yang seharusnya menjadi hari bahagia bagi Agus, kali ini menjadi malam yang membuka ribuan duka dalam hatinya yang selama ini terbungkus keindahan materi yang tiada abadi. 
Hadiah yang Agus siapkan masih tersimpan dalam lemari buku di kamarnya.  Entah apa yang membuat Agus tidak segera memberikannya.  Mungkin Agus tengah menunggu waktu atau menunggu keadaan sampai dia siap memberikannya.  Jam sudah menunjukan 01:00 dini hari, tapi suasana masih ramai dengan sinar lampu yang masih menyala hampir di setiap rumah di kampung itu.  Agus duduk di atas kasurnmenorehkan semua hal yang selama ini terjadi dalam hari-harinya, tentang kesedihan yang dia rasakan semenjak terpaksa menyandang gelar anak yatim.  Tentang semua hal yang dia miliki namun ternyata tidak cukup memberi kebahagiaan.   Sesekali ia menatap langit-langit kamar, seolah mengingat sesuatu lalu seketika menunduk dan kembali menggerakan pulpennya.  Agus memandang kertas itu beberapa saat, lalu melipat dan menaruhnya ke dalam bungkusan hadiah yang dia siapkan untuk abangnya.  

***

Raut wajah penuh rona kebahagiaan terpancar dalam setiap mimik wajah yang berkumpul di ruang tamu.  Seperti biasa setelah melaksanakan sholat Ied dan berziarah kubur, mereka duduk melingkar di lantai beralas karpet, lengkap dengan ketupat juga opor ayam dan rendang sapi yang tersaji di tengah-tengah mereka.  Sebelum mereka menikmati hidangan lebaran itu, Agus tidak lupa melakukan tradisi sungkem kepada abangnya lalu kepada anggota keluarga yang lain.  Terlihat keharuan dan kegelisahan dari raut wajah polos itu.  Dengan ragu-ragu diberikannya bungkusan kado berwarna merah muda kepada Lisa lalu mencium pipi gadis itu, sayang.  

"Abang, Agus punya sesuatu untuk Abang," kata Agus sembari memberikan bungkusan kotak bersampul biru. "Ini buatan Agus, meski tidak bagus...," dia menahan napas sesaat sebelum dia melanjutkan ucapannya, "Tapi semoga bisa Abang pakai."  

Mahmud mengernyitkan kening, terheran-heran dengan tingkah Agus yang tak biasanya. 
"Apa ini Gus?," tanya lelaki itu sambil membolak-balik bungkusan itu. 

Agus tidak menjawab pertanyaan abangnya, melainkan dia beranjak dari ruang tamu lalu menghilang di sisi tembok.

Dengan segera Mahmud membuka bungkusan itu, didapatinya asbak yang terbuat dari tanah lempung dengan lipatan kertas yang terselip di dalamnya.  Perlahan lelaki yang baru saja menginjak usia kepala tiga itu membacanya surat itu.  Air mata menetes titik demi titik membasahi wajah dan jatuh membasahi sarung Mahmud.  Hatinya tersayat oleh penuturan tentang ribuan luka yang sudah dia gores dalam hati dan hidup Agus.  Penuturan yang membawa dia kembali pada kejadian 5 tahun lalu. 

Sebuah kesalahan besar yang dilakukannya ketikameminta Agus menjadi yatim untuk selamanya dengan menyembunyikan sosok bapak dari hidup sang bocah.  Seorang bapak yang tidak siap menerima anaknya sebagai kenyataan hidup.  Dia telah menjadikan Agus seorang anak yang lebih menderita bahkan dari seorang anak yatim. 

Segala hal yang terjadi di masa lalu kembali terngiang dalam ingatan lelaki itu.  Kejadian demi kejadian seolah dipertunjukan kembali di hadapan matanya.  Semakin jauh mengenang, semua hal itu semakin  merasuk dan menyayat sampai ke palung hati.  Membuatnya terseret jauh ke alam penyesalannya.  Hingga ia tak menyadari bahwasanya semua mata tengah memandangnya heran.  Dia juga tak mendengar berulang kali istrinya bertanya ada apa dan mengapa.  

"Carilah Agus!" ucap bibi seraya menepuk pundak Mahmud. "Katakanlah sesuatu kepadanya!" lanjutnya pada keponakannya yang masih berbaur dalam tangis penyesalan.

Bergegas, Mahmud  berlalu dengan perasaan bersalah meninggalkan ruangan dan menyisakan pertanyaan bagi sang istri yang masih terpaku bisu di sana. Istri Mahmud pun tak kuasa menahan rasa penasaran akan selembar  surat dalam kado misterius milik suaminya.  Diambillah kertas yang sudah lemas dan lembab itu lalu membacanya, 


"Abang, aku rindu bapakku dan aku semakin rindu bila aku melihatmu bersama mereka.  Abang mungkinkah aku seperti Lisa?  Dulu kau antar aku ke rumah ini dan memaksaku menjadi yatim, Abang bilang itu demi kebaikan dan masa depanku, Abang bilang karena abang menyayangiku.  Tapi aku tetap tidak bahagia.  Sekarang aku tahu  bahagiaku saat bersama bapak, meski bapakku miskin, tapi aku tidak jadi anak yatim.  Aku berdosa telah mengaku yatim.  Apa yang harus aku lakukan agar aku menjadi anak bapakku lagi?  bila aku harus mengganti uang yang sudah abang kirimkan, akan aku ganti saat besar nanti.  Kembalikan bapak kepadaku.  Bawa aku pulang dan kenalkan pada mereka.  Batalkan janjiku kepadamu, ijinkan aku memanggilmu Bapak.  Bapak katakanlah  aku bukan anak yatim."

Istri Mahmud pun menangis dan memeluk anak perempuannya.  Wajah yang semula bergelayut rasa penasaran, berubah menjadi wajah haru penuh kepiluan.  Ia tak percaya membayangkan kenyataan yang selama ini ditutupi suaminya dengan begitu rapi. Sebuah keadaan yang seharusnya diterima apa adanya sebagai takdir, tetapi justru dikubur dengan kebohongan.  Wanita itu sungguh tidak percaya dengan sandiwara yang terjadi dalam keluarganya.  Dia bisa membayangkan perih hati yang Agus rasakan.

Hari itu menjadi keharuan yang terdalam yang pernah ada bagi setiap saksi mata yang melihatnya. Semua mata telah sembab karena tangis.  Semua diri diliputi rasa penyesalan yang mendalam. Sebuah kesalahan yang dibiarkan terus terjadi menyakiti hati seoarang anak yang membuatnya seperti tidak diinginkan.  Wanita itu membopong Lisa lalu mencari anak dan bapak itu.  Mereka meminta maaf kepada Agus dan berjanji memenuhi keinginannya. 

Hari itu menjadi hari terakhir Agus bersandiwara sebagai anak yatim.  Mahmud telah menyadari bahwa janji yang dia minta agar Agus memanggilnya Abang adalah keegoisan.  Tidak seharusnya dia menyembunyikan status sebagai seorang ayah hanya karena takut ditolak oleh wanita yang kini menjadi istrinya.  Karena siap atau tidak itu semua ketentuan Tuhan dan dia pun kini sadar bahwa arti keluarga tidak akan pernah bisa digantikan oleh apa pun dan harga berapapun. 

Hari itu adalah hari pertama Agus menjadi bagian dari keluarga dimana ada bapak, ibu, dan saudara perempuan.  Lebaran itu menjadi hari yang tidak akan pernah terlupakan dalam sepanjang hidup mereka.  Mahmud pun akhirnya menyadari bahwasanya seorang anak tidak selalu akan bahagia hanya dengan dicukupi materi saja.  Kebersamaan adalah hal yang tidak akan terbeli oleh uang seberapa pun banyaknya. Sampai kapanpun bapak akan tetap menjadi bapak bahkan sampai alam dunia ini berganti.  


Note : Cerpen ini juga dimuat di tabloid Apakabar+ Hong Kong edisi 18 Juli - 7 Agustus 2015

Baca juga Cerpen Langkah Menjemput Sukses yang mengharukan dan menginspirasi. 

Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Posting Komentar