KONTAK SAYA

Jodohkan Saja (Ending)

Jodohkan Saja Part 3 baca di sini


Jodohkan Saja (Ending)





"Udahlah Rev, nggak usah pura-pura. Ganti baju sana," tegur Irma datar.

"Suruh jadi obat nyamuk? Lagian aku nggak suka jalan sama orang yang lagi marah," ujar Reva yang kali ini mencari-cari alasan.

Irma melempar Reva dengan bantal, "Dasar manja, iya deh aku nggak marah. Tapi jangan  bertingkah lagi. Dont be regret if i dont care!"

Reva berlari dan merangkul Irma lalu mencium pipinya. Kini ucapan maafnya lebih mudah untuk dia ungkapkan, dan lebih dari itu dia juga punya alasan untuk pergi bersama mereka, alasan yang dia jadikan tameng untuk menutupi keinginannya bersama Tomo.

"Maafin aku ya non sekretaris. Sebenarnya aku cemburu kamu lebih respect sama dia daripada aku. Kan kamu di sini buat nemenin aku bukan dia," celetuk Reva sambil menunjuk Tomo yang termangu di sisi pintu balkon.

"Cemburu sama Tomo atau cemburu Tomo deket sama aku?"

"Hah?" Reva bengong. Mungkin dua-duanya.

"Udah sana ganti baju." Irma mendorong Reva yang kemudian berlari ke kamar.

Mereka semua sudah siap, tinggal Irma yang belum selesai juga berbicara  telepon  di balkon dengan Dilan. Kedengarannya ada sedikit masalah, sesekali nada suara Irma meninggi. Tak lama kemudian Irma masuk, menutup handphonenya dengan telapak tangan dan mengisyaratkan agar Reva dan Tomo turun dahulu. Reva menolak, tetapi Irma memaksa. Mimik wajahnya begitu serius, sepertinya ada hal-hal privasi yang harus dia selesaikan. Sepertinya Reva mulai tahu apa yang sedang terjadi. Irma pasti sedang bertengkar dengan Dilan itu sebabnya dia melarikan diri bersamanya, lalu bertemu Tomo dan tanpa sengaja menjadikan lelaki itu pelarian. Poor Tomo. Batinnya.

Mereka berdua turun melewati kolam renang berair jernih dengan tampilan yang cantik. Hotel Villa Ombak memang unik dengan atap yang dibuat mirip rumah adat dan dikelompokkan menjadi beberapa kelas dengan ciri khas dan keunikan berbeda.

"Maaf tadi siang sudah membuatmu kesal. Eh membuat Non Reva kesal. Tidak seharusnya saya mencampuri urusan Non Reva." suara lembut dan bening Tomo menyergap keheningan.

Reva hanya menggeleng, tidak ingin membahas lebih lanjut, dia lebih tertarik bila mereka membicarakan hal lain dan menganggap informasi perjodohan itu tidak pernah dia dengar.

"Tapi saya harap, lelaki yang dijodohkan dengan Non Reva, orang baik dan bertanggung jawab. Bisa menjadi nahkoda rumah tangga yang amanah dan senantiasa menyayangi."

"Hey,"

"Maaf."

"Lupakan! Jangan panggil non," Reva merapatkan cardigan ungu lalu melipat kedua tangan di dada. "Aku juga berharap begitu. Setiap wanita mengharapkan pernikahan sekali seumur hidup. Menikah bagi wanita adalah pengabdian diri. Sepenuh hidupnya akan jadi hak suami. Selama aku mendapat kebebasan mengunjungi papa, kurasa itu cukup. Sebenarnya aku hanya masih ingin menikmati hari-hariku sebagai putri kesayangan papa."

"Eh, kamu sangat menyayangi beliau?"

"Tentu. Sejak mama berpulang delapan tahun lalu, papa mengabdikan hidupnya hanya untukku juga Irma. Papa tidak menikah lagi dengan alasan, cinta papa hanya untuk mama, aku juga Irma."

"Beliau orang baik," puji Tomo diikuti anggukan kagum.

"Sangat."

"Apa kamu tidak memiliki calon yang mungkin bisa dikenalkan pada beliau? Sepertinya beliau akan setuju selama kalian bahagia."

Lagi-lagi Reva menggeleng, pikirannya kini melayang pada sederet nama yang pernah jadi pangeran gagah dalam hidupnya.

Namun kenyataannya mereka semua tak ubahnya seorang pecundang yang menjual kata-kata cintanya demi uang dan jabatan.

"Lelaki pilihanku nggak ada yang baik,  nggak tulus. Mungkin aku harus pergi ke tempat di mana tidak ada yang mengenaliku sebagai anak Harun Kumandawa, agar mereka bisa melihat diriku, bukan apa yang ada di kehidupanku."

"Jadi kamu memilih menyerah dengan perjodohan itu?"

Kali ini Reva mengangguk. Jawaban itu memang tepat. Meski bukan berarti dia tidak mencoba mengelak dari kepasrahan. Dan bukan berarti dia masih menyimpan sebaris doa dan harapan agar Tuhan segera mempertemukannya dengan seseorang yang dicintai dan mencintainya. Dia berharap, bila saja takdir memberinya waktu lebih banyak untuk mengenal Tomo dan membuat lelaki itu jatuh cinta padanya. Reva tahu, ada sebentuk perasaan yang tinggal di balik tatapan Tomo untuknya. Mungkin itu belum cinta, tetapi dia yakin ada keinginan yang membuat Tomo begitu peduli dengan perjodohannya.

Di kejauhan, suara alunan musik hip hop sudah terdengar, lampu disko warna-warni juga nampak terang redup.

"Eh ayo kita ke sana?" Tomo meraih lengan Reva.

"Tapi,"

"Pesta itu cukup kita tahu saja, tidak usah ikut. Di sana banyak orang minum bir, dan saya tahu kalian bukan wanita seperti itu."

Reva tersenyum, sebenarnya dia sudah mengkhawatirkan hal itu tadi. Khawatir, kalau Tomo punya niatan buruk dengan mengajak dua wanita lemah yang tidak punya ilmu bela diri ke pesta yang tentu diikuti para turis mancanegara ditemani anggur dan bir.

Ternyata pantai yang Tomo tuju. Mereka berdua pun duduk berdampingan memandang lautan yang berkilau-kilau di tempa sinar bulan yang tengah purnama. Mereka membicarakan banyak hal, masa sekolah, pekerjaan, sahabat juga cita-cita. Ternyata Tomo juga berbakat menjadi teman bicara yang menyenangkan. Begitu cepat, Reva akrab dengan lelaki yang semakin lama semakin menarik.

"Oya seandainya dalam waktu dekat ini, hadir seseroang yang kamu inginkan jadi pendamping hidup bagaimana?"

Reva berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Tomo yang tiba-tiba itu. Seandainya aku menemukan lelaki dalam mimpi itu, sungguh itu yang kuharapkan.

"Aku akan mengenalkannya. Meyakinkan papa bila lelaki itu bisa membuatku bahagia. Aku yakin yang papa inginkan pasti ialah kebahagiaanku. Tidak peduli siapa yang pada akhirnya memberi kebahagiaan itu."

"Kalian orang berada, kalau lelaki itu orang biasa atau sopir sepertiku?"

Reva menoleh dan mendapati Tomo tengah menatapnya. Sesaat mereka masih saling menatap sebelum kemudian Reva menunduk dan Tomo membuang pandangan ke laut lepas.

"Kamu cantik, baik dan sederhana. Emm juga manja, tetapi itu justru membuat lelaki di sisimu merasa bahagia ketika kehadirannya menjadi berarti. Jarang lelaki yang beruntung mendapat posisi itu.

Sekarang ini banyak wanita yang bisa hidup sangat baik tanpa lelaki."

Reva tersenyum meningkahi senyum Tomo yang nampak begitu cerah.

Justru aku yang akan sangat bahagia, bila Tuhan mendatangkan lelaki seperti itu padaku.

***

Masa liburan sudah seminggu berlalu tetapi Reva baru siap untuk kembali bekerja. Hubungannya dengan Tomo semakin membaik. Sesekali lelaki itu mengirim pesan di tengah kesibukannya sebagai sopir sekaligus pemandu wisata. Kadang otak Reva kerap berpikir nakal, mengira-ngira Tomo juga membopong gadis-gadis wisatawan yang akhirnya hanya membuat dia cemburu dan selalu penasaran apa yang sedang Tomo lakukan. Mereka saling tahu tentang perasaan macam apa yang kini bermekaran di hati masing-masing. Namun Reva ragu untuk memulai. Sementara Tomo, dia hanya sedang menunggu seseorang mempersiapkan semuanya.

Sejak semalam Reva memikirkan cara agar dia bisa tinggal di Lombok lagi. Bukan liburan, karena itu terlalu blak-blakan. Dia ingin membuat keberadaannya di sana semacam kebetulan dan pertemuan dengan Tomo  merupakan satu-satunya pilihan karena hanya lelaki itu yang dia kenal.

Hari pertama kembali ke meja kerja, Reva   disambut dengan rapat darurat, bahkan ketika pantatnya baru saja hendak menempel ke singgasananya. Dia bergegas mengikuti Irma yang berjalan tergesa.
Reva menerka-nerka, mungkinkah ada masalah darurat di perusahaan semenjak kepergiannya? Mungkin lebih tepatnya kepergian Irma. Karena dia sadar keberadaannya tak akan berarti banyak tanpa kehadiran Irma.

Di ruang rapat, para manager, dan direktur dari berbagai divisi sudah duduk di kursinya. Meski Reva anak kandung presiden direktur, papa tidak lantas memberinya posisi bagus. Dia hanya manager SDM yang bertugas menyeleksi karyawan baru. Karyawan bagian produksi dan distribusi tentunya, bukan karyawan yang bekerja di kantor itu.

Papa datang sesaat sebelum dia melangkah masuk, Reva pun mempersilakan sang presdir masuk lebih dulu lalu mengikuti di belakangnya. Mereka berdiri hormat lalu membungkukkan badan. Papa mengangguk dan mereka duduk kembali.

Seseorang di kursi ujung tersenyum ramah ke arahnya lalu pada Irma yang duduk di sampingya. Orang itu! Apa aku sedang berhalusinasi, Reva pikir matanya sudah terinfeksi penyakit karena terlalu sering memikirkan Tomo, dan kini dia mengira salah satu dari mereka adalah Tomo.

Reva menyimpan kembali matanya yang membulat dan mengedipkannya beberapa kali, hingga yakin tidak salah lihat.

Memakai setelan jas dengan rambut disisir rapi begitu, Tomo begitu tampan. Ternyata dugaannya benar, kalau dia terlalu keren untuk jadi sopir travel.

Pikirannya kacau dan sama sekali tidak bisa berkonsentrasi pada menu rapat pagi itu. Ia bahagia melihat Tomo kini begitu dekat dalam hari-harinya, setidaknya dia tidak perlu memikirkan alasan mengundurkan diri dan pindah ke Lombok.

Namun dia juga khawatir. Irma, hingga detik ini belum juga memberi kabar tentang perkembangan hubungannya dengan Dilan yang renggang semenjak kejadian di Lombok waktu itu. Dan dilihat dari sikap Irma kepada Tomo atau sebaliknya, Reva merasa kekhawatirannya beralasan.

Mungkin Irma memang tidak mudah jatuh cinta, tapi Reva sadar, dengan kecantikan, kecerdasan dan kehati-hatian Irma dalam bersikap dan memutuskan sesuatu, dia bisa dengan mudah membuat orang jatuh cinta padanya. Reva cemas, bila hati Tomo lebih dulu jatuh pada hati Irma. Dan dengan Irma, dia sama sekali tidak ingin bersaing dalam hal apa pun.

"Hei, kamu kerja di sini? Baguslah! Eh sejak kapan?" tegur Reva saat satu persatu meninggalkan ruang rapat.

"Sudah hampir satu bulan," Irma yang menjawab dan sudah ada di tengah-tengah mereka.

"Satu bulan?" Reva maju satu langkah kemudian membalik badan dan berjalan mundur mengimbangi langkah mereka. Darimana Irma tahu?

"Baru seminggu berlalu sejak liburan kita, dan saat itu kamu masih jadi agen travel. Jangan becanda ah!" lanjut Reva kemudian menahan bahu mereka dan saling memandang bergantian.

"Dia diterima sebagai manager SDM Internal sejak hari pertama kamu bolos kerja. Kamu harus minta maaf, karena sejak hari itu dia harus merangkap juga pekerjaanmu."

Reva bengong, tanpa sadar telunjuknya menuding wajah mereka bergantian. Diingat-ingatnya lagi, memang kalau dihitung sudah hampir satu bulan sejak dia mengambil cuti, lalu berlibur ke Lombok dan menambah cuti satu minggu lagi sampai hari ini.

"Dia juga agen travel khusus yang ditugaskan presdir untuk menjagamu."

Kini telunjuk Reva  beralih ke wajahnya sendiri. Apa-apaan ini?

"Oh ya, aku juga sudah bilang sama Om agar tidak usah repot-repot menjodohkan kalian." Irma menepuk bahu Reva dan Tomo bersamaan.

"Haa, kalian?" Reva mengejar Irma yang melangkah melarikan diri, "maksudnya, kami?" Langkahnya terhenti kemudian menoleh ke arah Tomo yang dengan segera mengangkat kedua bahunya.

"Tanyakan saja sama Pak Presdir, siapakah lelaki yang dijodohkan dengan putri manjanya," terang Irma yang sudah berlalu semakin jauh dan menghilang di sisi koridor.

Ia merasa seperti tengah terjebak dalam teka-teki rumit yang entah darimana dia harus menyusunnya kembali agar menemukan di mana logika dari semua itu.
Tomo menjawab kebingungan Reva dengan sebaris senyum, dia sudah menunggu lama dan iya yakin detik ini akan terjadi.

Mungkin Reva menanti penjelasan bagaimana semua bisa terjadi. Namun Tomo pikir, adakalanya keindahan tak butuh diungkapkan, cukuplah hati merasakan.


Langkah Tomo makin dekat. Reva menghitung tiap langkah lelaki itu dengan perasaan yang terlalu rumit untuk dikatakan. Dia hanya terpikir satu kalimat, Pah, jodohkan saja aku dengannya!




Baca juga Cerpen Rindu dan Sebuah Tanya



Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Posting Komentar