Mawar Merah Tercantik
Oleh : Rainy Okkie
“Milik wanita manakah bahagia itu, bila rupa, kemolekan
dan harta tak cukup berarti untuk menjaga perasaannya tak didusta?"
Selembar foto yang baru saja kuambil dari percetakan
kumasukan dalam tas yang kugapit di ketiak kiri. Kulewati lagi halaman restoran
di mana dua orang yang setengah jam lalu tengah menikmati makan siangnya dengan
gembira. Sekarang meja itu telah dihuni orang berbeda. Apakah mereka
melanjutkan kencan di taman kota, atau meluncur mencari penginapan? Entahlah.
Kuhempaskan
punggungku di jok mobil, kepalaku berdenyut hebat tatkala canda tawa mereka
muncul dan saling berkelebat. Namun aku harus segera kembali ke kantor,
lembaran-lembaran yang menumpuk di meja kerja tadi tengah menantiku
menyelesaikannya.
Ah, apa
yang bisa kukerjakan dengan pikiran kacau seperti ini?
Menerima apa
yang kulihat tadi sebagai kenyataan, sama halnya dipaksa mengunyah bawang putih
yang selalu membuatku mual itu, mentah-mentah.
Sebelumnya,
aku meyakinkan diri sendiri bila kabar itu omong kosong. Namun ternyata itu salah.
Rasanya aku patut merasa rugi telah membayar mahal seorang mata-mata untuk
kemudian mempertunjukkan kenyataan menyakitkan itu.
Mobil melaju
meninggalkan halaman parkir, meski belum kuputuskan akan ke mana. Di lampu
merah, seorang pemuda menggandeng wanitanya, seolah tak ingin terpisahkan oleh
orang-orang yang berdesakan menyeberang dari dua arah berlawanan. Kalau boleh
kutebak mereka pasti hanya sepasang kekasih atau paling pengantin baru yang
hari-harinya masih diselimuti hal-hal romantis seperti itu. Tak lama, keadaan
pasti berubah. Mereka akan lebih realistik dan mengedepankan logika daripada
perasaan. Meski rumah tanggaku sendiri sudah sangat realistik sejak awal
pernikahan, bahkan seingatku belum pernah ada masa yang benar-benar layak untuk
disebut romantis.
Aku pernah
menyimpulkan, wanita yang bahagia ialah dia yang menjadikan pasangannya manusia
paling beruntung karena memilikinya. Sehingga tidak akan ada alasan untuk
meninggalkan, alasan yang lebih sering dicari-cari untuk memperoleh pembenaran.
Bunyi
klakson saling bersahutan dan membuatku tergeragap. Dari spion, nampak pengemudi
mobil-mobil di belakang melongokkan kepala seraya menunjuk lampu lalulintas
yang sudah berubah hijau. Segera aku menginjak pedal gas melajukan mobil
perlahan. Berapa pengendara sepeda motor menyalip dan meninggalkan pesan agar
tidak melamun di jalan raya sebagai wujud kekesalan mereka. Aku hanya
mengangguk, meminta maaf.
Mobil
kembali menepi di tepi jalan yang cukup lengang. Kuambil foto itu dari dalam
tas dan kupandang lekat-lekat, wanita itu berambut lurus dan diponi ke samping.
Aku pikir usia kami hampir sama. Kulitnya cerah tapi tidak lebih putih dariku, blouse
yang melekat di tubuhnya tidak lebih bagus kualitasnya dari daster tidurku.
Sementara tas di pangkuannya, ah, kurasa itu dia beli di pasar dengan harga
tidak lebih dari seratus ribu.
Sebelumnya
aku sudah melihat detail wajah wanita yang kudengar bernama Sali. Entah
bagaimana mata-mata kurcil itu bisa mendapatkan fotonya dengan begitu sempurna,
sungguh wanita itu tidak lebih cantik. Aku juga tidak menemukan di bagian mana
yang membuatnya nampak lebih baik, atau mungkin lelaki punya sudut lain dalam
menilai wanita?
Waktu terus
bergulir, menjelang sore jalanan mulai ramai dan aku tidak bisa memarkir mobil
lama-lama di tempat ini. Namun harus ke mana lagi? Semestinya aku sudah kembali
di kantor, sayangnya aku kehilangan selera untuk itu. Untuk apa dan untuk siapa
aku mati-matian bekerja, mengumpulkan uang demi mencukupi kebutuhan rumah
tangga dan memikirkan masa depan? Aku memahami gaji Edo tak akan cukup memenuhi
kebutuhan kami, dan aku hanya berusaha agar dia tidak tertekan memikirkan
tanggungjawab itu. Aku juga tidak ingin memberatkan dengan meminta ini--itu
padanya, membuatnya kerepotan, terbebani lalu dia tidak bahagia dan akhirnya
akan mencari wanita yang dia anggap lebih baik. Tubuhku pun seketika bergidik
membayangkannya.
Apa kau
belum kehilangan mereka? tanyaku datar, memastikan si mata-mata kurcil masih
bertugas. Memang aku belum memberi instruksi lanjutan untuknya setelah
pengintaian di restoran siang tadi.
Toko bunga?
Apa dia membeli bunga untuk wanita itu? pekikku kesal seraya memutus
percakapan sebelum dia sempat
meluncurkan sepenggal kata pun untuk menjawabnya.
Bukti-bukti
yang sudah kukumpulkan, seakan terus melompat-lompat di kepala dan memaksaku
mencari bukti lanjutan untuk kemudian membuatku percaya bila dia berkhianat.
Apa yang
harus kulakukan sekarang? Berpura-pura tidak tahu selama dia tidak meninggalkanku?
Atau perlukah mengajak Sali bicara empat mata dari hati ke hati dan memintanya
menjauh dari kehidupan kami?
Tujuh tahun
lalu, saat aku dan Edo dipertemukan di kantor pagi-pagi sekali. Dia baru saja
meletakkan segelas teh hangat lalu menunduk dan mengucapkan salam pagi. Lelaki
yang sopan dan bersahaja. Wajahnya cukup tampan meski dibalut seragam office
boy abu-abu yang membuatnya terkesan lebih tua. Aku menyeruput teh
buatannya itu, dan seketika terkesima saat mengecapi manis dan pekatnya rasa
teh yang pas dengan seleraku. Sejak itulah aku memintanya yang membuatkan teh
setiap pagi dan mengantarnya.
Dia bekerja
dengan baik, rajin dan bertanggungjawab. Entah sejak kapan aku mencintainya
hingga memutuskan menawarkan diri menjadi istrinya. Kami pun menikah, enam
tahun lalu orang-orang dekatnya menganggap dia teramat beruntung menikahiku.
Tentu saja, sebagai pihak laki-laki keluarganya tak perlu dipusingkan dengan
hal-hal tetek-bengek layaknya seserahan dan sebagainya. Mulai dari sewa
gedung tempat resepsi hingga souvenir dan undangan semua berada di balik
tandatanganku. Boleh dibilang, aku membiayai pernikahanku sendiri waktu itu.
Sungguh, aku tidak keberatan, bagiku uang hanya soal kecil, toh memang untuk
semua itulah aku bekerja selama ini.
Sesungguhnya
aku juga beruntung menjadi istrinya. Aku benar-benar bahagia sejak saat itu.
Dia begitu tulus menerima kekuranganku yang sudah janda. Bagi beberapa lelaki
keperawanan memang menjadi hal penting dalam suatu pernikahan, namun tidak
dengannya. Dia tidak pernah berkomentar apa pun tentang perawan atau hal-hal
sejalur lainnya, apalagi mengeluhkannya.
Sebenarnya, Edo
lekaki setia, penyayang dan penuh perhatian. Setiap pagi dia mengantar hingga
pintu gerbang, dan menungguku pulang di ruang tengah dengan segelas teh hangat
buatannya. Namun sejak dua atau tiga minggu lalu, aku kerap mendapatinya
menghabiskan waktu di depan komputer. Suatu malam, kulihat jari-jarinya sibuk
mengetik sederet kalimat yang mirip larik puisi atau syair lagu. Tak ada
kecurigaan apa pun, kupikir dia hanya menemukan hobi baru di sela-sela
kejenuhannya menjadi lelaki rumahan dan berkutat dengan ikan-ikan hias atau
taman kecil di halaman samping rumah kami.
Memang
setelah menikah aku memintanya berhenti bekerja, sebenarnya aku sudah menyiapkan
sebuah bisnis untuk dia kelola, tetapi masih banyak hal yang perlu dibereskan
sebelum kusampaikan kabar itu padanya. Tak kusangka, ternyata itu bukan sekedar
hobi, melainkan luapan cinta yang dia ungkapkan dalam bait-bait puisi. Aku tak
pernah tahu bila Edo seromantis itu.
Masih dengan
pikiran kalut dikerubungi pertanyaan yang berdengung di telinga, aku memutar
arah menuju Beauty Florist. Entah apa yang akan kulakukan di sana, mungkin
berpura-pura shock saat memergoki mereka. Kemudian marah, memaki-maki
atau bila perlu menampar mereka satu-persatu lalu meminta cerai saat itu juga.
Aku juga akan merebut kunci mobil yang kuberikan pada Edo dan segera pulang ke
rumah mengemasi barang-barangnya kemudian membuangnya di depan gerbang agar dia
bisa melanjutkan asmaranya dengan Sali.
Masih di
sana? tanyaku lagi pada si mata-mata melalui microphone yang sejak pagi
menempel di bagian dalam kemeja dan segera kuabaikan setelah dia menjawab ya.
Toko mulai
ramai didatangi pria-pria romantis yang akan mempersembahkan bunga paling
cantik untuk kekasihnya. Beberapa keluar dengan serangkaian bunga di tangan.
Sebenarnya aku akan merasa lebih baik jika harus memergoki mereka di kamar
hotel. Setidaknya tidak akan ada orang sebanyak ini yang melihat betapa
menyedihkannya diriku nanti.
Kepalaku
masih berdenyut-denyut, pundak pun serasa ditimpa beban berat sementara dadaku
kian sesak. Aku mendorong pintu kaca yang lebar, dan bunga-bunga cantik yang
terkemas rapi segera menyambut kedatanganku. Mungkin aku akan membawa pulang beberapa
ikat bunga perlambang duka beberapa saat lagi. Mataku terus menyisir setiap
sela di toko bunga yang tak terlalu luas, tak berapa lama tatapanku berhenti
pada dua sosok yang sedari tadi sudah memenuhi kelopak mataku. Tangan kiri Edo
memeluk pinggang wanita itu, sementara tangan lainnya menganyur-anyurkan
setangkai bunga mawar merah yang merekah sempurna ke wajah Sali.
Mataku
terasa panas, dan menggenang. Aku tak pernah mengira buliran bening itu akan
kembali menghujani wajahku setelah aku menghapusnya bertahun lalu. Sebelum aku
bertemu dengan Edo pagi itu, air mata ini memang masih kerap menetes setiap
mengingat tragedi ketika aku ditinggalkan demi seorang wanita yang memang lebih
baik segalanya pada waktu itu. Demi anak gadis dari seorang pengusaha hotel
berbintang di Jakarta. Dan sekarang ketika aku telah mendapat posisi penting di
perusahaan juga tentunya dengan kehidupan yang mapan, Edo pun berkhianat. Bahkan dia melakukannya
dengan lebih menyakitkan, menduakanku demi wanita yang tak kulihat lebih
menarik dariku.
Aku
mengambil tisu dan mengusap air mataku segera. Pria dekil itu memanggilku
beberapa kali dan menanyakan apa aku baik-baik saja. Mungkin dia
memperhatikanku entah darimana.
Aku tahu
apa yang harus kulakukan, paparku pada pria dekil itu.
Aku
melangkah lebih dekat, lalu berdiri gemetar di belakang mereka yang belum juga
menyadari keberadaanku. Kedua tanganku mengepal dan membuat keringat dingin
yang membahasahi telapaknya menelusup melalui sela-sela jemari. Harusnya Edo
bisa mengenali aroma tubuhku, enam tahun aku selalu menyemprotkan parfum yang
sama tanpa pernah menggantinya dengan aroma lain, dan selama itu pula kan
dia mencium wangi itu?
Betulkah
mawar merah itu lambang cinta? tanyaku pada ibu penjual yang sudah tersenyum
menyambut kedatanganku tadi.
Mila! Edo
menyingkirkan tangannya dari pinggang Sali saat dia menoleh dan bertemu
tatapanku.
Aku
tersenyum meski genangan di mataku sudah meluncur deras di kedua pipi. Aku
menerobos mereka berdua, menyodorkan lima lembar seratus ribuan pada ibu-ibu
tadi seraya berkata, Beri saya bunga mawar merah tercantik dan paling bagus!
Dari balik
genangan yang menenggelamkan mataku, nampak ibu itu tertegun menerima lembaran
uang dariku. Namun ia kemudian memberiku dua ikat bunga mawar merah, satu mekar
sempurna dan satu ikat lainnya masih membentuk kuncup yang malu-malu. Sali
berdiri menepi, aku bertolak lalu menepuk bahu Edo yang masih terpaku bisu,
Terimakasih
Pah.
Tak sempat
merogoh tisu dari dalam tas, aku menyambarkan punggung tanganku untuk menghapus
air mata yang jatuh membasahi kelopak-kelopak mawar dalam genggamanku. Kuremas
kuat tangkai bunga-bunga itu, dialah lambang cinta yang belum pernah ada dalam
kisah cinta di hidupku.
Sesampainya
di rumah, aku menghamburkan tubuh di atas kasur dan menumpahkan tangis yang tak
ingin lagi kutahan.
Milik
wanita manakah bahagia itu, bila rupa, kemolekan dan harta tak cukup berarti
untuk menjaga perasaannya tak didusta?
Aku memaki
diriku sendiri, kenapa tadi tidak menampar mereka? Kenapa tidak kujambak saja
rambut Sali yang tergerai itu? Kenapa aku tidak meminta cerai pada Edo?
Aku tidak
bisa!
Sesungguhnya
aku tak ingin melepaskan Edo pada wanita manapun. Aku pernah kehilangan tanpa
sempat berusaha mempertahankannya. Sekarang tak akan kubiarkan itu terjadi
lagi. Aku ingin membuat satu kesempatan lagi untuk menjadi wanita bahagia
dengan hidup bersamanya.
Aku bangkit
dari ranjang, lalu duduk di meja rias dan menatap tampilan diriku lekat-lekat.
Aku tidak salah! Aku masih lebih cantik dari Sali, hanya saja wajahku nampak
lelah dan mungkin kurang ramah. Saat ini hati Edo sudah berpaling, tetapi aku
belum benar-benar kehilangannya sebagai suamiku. Akan kubuat hatinya kembali
berpaling pada wanita yang selama enam tahun ini memeluknya di keheningan malam.
Meluangkan beberapa detik dari waktu yang selalu dipenuhi tuntutan pekerjaan
untuk memandang wajahnya di foto pernikahan kami yang berdiri anggun di atas
meja kerja.
Aku merendam
tubuh cukup lama dengan air hangat berharap bisa menenangkan pikiran. Meski sebentar,
wajahku juga sudah kubalut masker dan sekarang lebih lembut setelah kuoles
pelembab. Ranjang kami sudah kubereskan, aku tahu Edo pasti akan pulang meski
dia butuh waktu tidak sebentar untuk mengambil keputusan itu.
Aku tidak
akan marah dan membahas masalah sore tadi. Biarlah semua itu ibarat mimpi
buruk. Surat pengunduran diri sudah kuketik rapi dan akan kuajukan besok pagi.
Aku lebih memilih kehilangan karir daripada kehilangan hak sebagai wanita. Aku
memiliki suami yang akan bertanggungjawab dan tidak akan membiarkanku
menderita. Aku yakin, Edo akan melakukannya, aku hanya perlu memberinya
kesempatan, menggeser posisiku yang dominan ini padanya, pada tempat yang
seharusnya. Sudah cukup aku menjadi wanita tangguh dan perkasa, aku akan
menikmati sisi lain sebagai wanita yang cenderung lemah, manja dan penurut.
Biarkan dia yang menjadi nahkoda rumah tangga kami, meski kami harus mendayung
kembali perahu kecil itu dari pelabuhan yang berbeda.
Mengenakan
gaun tidur tipis dengan tali pundak yang kecil, serta rambut yang sengaja tidak
kukeringkan sempurna, aku menunggunya di ruang tengah dengan segelas teh yang
akan menghangatkan tubuhnya saat dia pulang. Jarum pendek jam sudah merangkak
ke angka 1, mungkin Edo butuh waktu sedikit lebih lama lagi, tapi aku yakin dia
akan segera pulang untuk meminta maaf. Tentu akan kuterima, karena aku sudah
memberikan maaf itu padanya.
0 komentar:
Posting Komentar