GENDHIS
Oleh : Rainy Okkie (KPKers HK)
"Ada yang ingin bertemu Ukhti selesai acara," bisik laras pada Gendhis.
Gendhis menjauhkan microphone di tangannya, "Siapa Ukh?"
"Laras enggak kenal, orangnya nunggu di luar."
"Lho kok di luar?"
"Iya tadi setelah berpesan dia terus keluar, oh ia katanya sih saudara Ukhti."
"Saudara?" Gendhis mengernyit heran.
Sesekali Gendhis menerawang ke arah pintu gedung, menerobos wajah-wajah ayu wanita berjilbab yang duduk berjajar menghadap panggung. Meski dia tahu tak akan mampu menembus pintu dan melihat wanita yang Laras maksud, tetapi ja terus saja menerawang jauh hingga sampai pada ingatan masa lalunya. Hong Kong tempat yang cukup jauh dan aman sebagai tempat pelariannya, "Adakah yang mengetahui keberadaanku di sini?" tanya Gendhis dalam hati.
"Baik, Ukhwafillah semua kita masuk acara selanjutnya ...."
Merdu dan tenang suara Gendhis senantiasa membawa para pendengar mengikuti rangkaian acara. Gendhis yang tampil anggun dengan baju syar'i berwarna biru tua senada dengan baju panitia lainnya nampak lebih muda dari usianya yang sudah 38 tahun. Jilbabnya lebar menjuntai menutupi dada.
Bakatnya berbicara di depan umum sudah terasah dengan baik. Beberapa kali dia menjadi pembicara pada acara-acara sosial. Namun Gendhis selalu menolak bila diminta menjadi pembicara di pengajian meski ilmu agamanya sudah tidak diragukan lagi.
Tepat jam 5 sore acara selesai, beberapa panitia sibuk membereskan gedung. Gendhis melangkah meninggalkan ruangan. Satu hal yang ia khawatirkan bila orang itu mengenal Gendhis yang dulu.
"Assalamualaikum ukhti."
"Waalaikumsalam," jawab segerombol wanita itu.
"Anggi?"
Tersentak Gendhis mendengar nama itu disebut. Seketika ia merasa seakan baju syar'i yang ia kenakan terlepas dari tubuhnya, membuatnya seakan berdiri telanjang. Pelataran gedung yang diinjaknya seakan berubah menjadi ruangan remang dengan lampu disco warna-warni yang saling berkedip.
"Kamu Anggi kan?" wanita itu menyodorkan tangannya.
"Iya Ukhti, apakah Uhkti kenal saya?" Gendhis membalas jabatan tangan wanita itu dengan gemetar.
"Tak perlu menggunakan bahasa sok alim itu, karena aku tahu siapa kamu sebenarnya, berhentilah membodohi orang lain dengan topengmu itu." wanita itu berkacak pinggang dan mendelik sinis.
"Astagfirullahhaladzim."
Dunia seakan runtuh tepat di kepala Gendhis, dugaanmya benar bila dia juga mengenal Gendhis yang dulu.
"Aku Selfi, apa kamu tidak mengenaliku? Memang penampilanku sudah berubah, tapi aku tidak munafik sepertimu," tuding wanita itu dan mengibas-ibaskan ujung jilbab Gendhis.
Gendhis hanya terdiam membendung air matanya, seksama ia mengamati wanita itu, bentuk wajahnya serasa asing, namun suaranya? Yah, Gendhis mengenali wanita yang berbalut kaos lengan panjang, celana pensil dan jilbab instan merah hati yang tengah menghakiminya ini.
*****
"Siap?" Dina menatap Anggi tak percaya.
"Sepertinya Din, cuma seperti yang kamu bilang kan?"
"Iya Nggi, tapi kalau kamu mau yang lebih juga boleh," Dina melempar senyum menggoda.
"Maksudnya?"
"Sudahlah, ayo berangkat!" Dina beranjak dan menarik tangan Anggi.
Mereka di antar taksi menuju tempat tunjuan, meski Anggi belum pernah mengunjunginya, ia bisa membayangkan keadaan tempat itu. Seperti yang sering dia lihat di televisi, lampu disko warna-warni, alunan musik keras dan muda-mudi yang berdansa.
"Kenalkan, ini teman ku Anggi."
"Doni," lelaki bermata bening dan berhidung mancung itu menyalami Anggi yang hanya tersenyum kecil.
"Anggi."
"Dia masih baru," Dina mendekatkan bibirnya ke telinga Doni dan membisikkan sesuatu.
"Oh, ok Din, good job," sahut Doni tersenyum riang.
"Nah selanjutnya tugas kamu, aku harus ke room sekarang," Dina menepuk pundak lelaki tampan itu lalu melepaskan tangan Anggi dan beranjak pergi meninggalkan mereka. Sesaat mereka hanya saling melempar senyum.
"Sudah lama kenal Dina?"
"Hampir 2 tahun kami satu kos, kamu?"
"Sejak Dina kerja di sini."
"Oh," Anggi mengangguk-anggukan kepalanya.
Tak butuh waktu lama untuk akrab, Anggi yang fleksibel dan mudah begaul sementara Doni, dia begitu tenang dan memperhatikan apa yang Anggi ucapkan. Sesekali Anggi mengamati sekelilingnya, benar-benar persis dengan apa yang dia bayangkan, hanya sedikit tambahan yaitu aroma alkohol yang menyengat dan sempat membuatnya mual saat dia baru masuk ke ruangan itu.
"Kamu cantik."
"Thanks," Anggi menghindar saat Doni hendak membelai pipinya.
"Oh, sorry," ucap Dony mengangkat kedua tangannya, "Kamu sudah tahu apa yang harus kamu lakukan?"
"Yah, Dina sudah menjelaskan padaku."
"Okey, sekarang lets go!"
Doni segera menarik tangan Anggi lalu membawanya pergi menelusup gerombolan tubuh yang meliak-liuk ke sana ke mari mengikuti alunan musik. Doni melingkarkan tangannya di pinggang Anggi dengan mesra dan senantiasa tersenyum dalam setiap perkataannya. Terbersit rasa kagum dalam hati Anggi terhadap lelaki itu. Wajahnya yang tampan, tubuhnya yang atletis serta tatapan matanya begitu romantis.
"Kenapa?" Doni memandang Anggi heran ketika Anggi tiba-tiba berhenti tepat di depan pintu kamar.
"Kenapa ke kamar? Bukankah kita bisa berbincang dan minum di luar?"
"Maksud kamu?"
"Dina bilang tugasku menemani tamu ngobrol dan minum."
"Right, dan kamu sudah menemaniku ngobrol kan? Malam ini gue lagi enggak ingin minum."
"Lalu?"
"Lalu?" Doni tertawa kecil dan berkata lirih di telinga Anggi.
"Tidak, Dina tak berkata begitu, aku tidak mau, aku mau pulang," Anggi melepaskan tangannya dari genggaman Doni.
"Kamu yakin? Kamu tak akan dapat apa-apa bila kamu pulang sekarang."
Anggi terdiam dan berpikir antara pulang atau melanjutkan. Ribuan kemungkinan bermain dalam angannya, bila dia pulang mungkin dia benar-benar akan gagal menjadi sarjana, namun dia pun tak yakin apa dia berani melakukannya. Dalam kebimbangannya Anggi mendengar suara hati yang berbisik bila dia harus pulang, namun ia pun tak bisa mengelak rayuan, pujian dan keindahan yang Doni ungkapkan, "Aku memang butuh uang."
Sejak malam itu, Anggi dan Doni menjalin hubungan lebih dekat, bisa dibilang mereka sudah pacaran. Namun aneh, meski mereka berpacaran, Doni tetap membiarkan Anggi berkencan dengan laki-laki lain. Doni tak pernah marah apalagi cemburu. Tak hanya itu, Doni pun tak segan mengenalkan Anggi kepada teman-temannya. Bukan sebagai kekasih, tapi sebagai wanita penghibur di diskotik itu. Yang lebih aneh ketika mata hati Anggi tertutup. Hingga dia tak bisa membedakan antara cinta dengan nafsu dan menuruti saja apa kemauan Doni.
Anggi telah lulus menjadi sarjana seperti apa yang dia harapkan, namun ternyata dia telah kehilangan cita-cita yang dulu dia perjuangkan. Baginya uang dan Doni adalah segalanya. Dia terlanjur terlena dalam dunia malam yang gemerlap yang sedang dia nikmati saat itu. Menjalin hubungan asmara selama 8 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Bila mereka telah menikah, pasti mereka sudah mempunyai keturunan. Namun apa mau dikata hubungan mereka harus kandas di tengah jalan ketika seorang wanita bernama Selfi datang dan mengaku sebagai kekasih Doni. Cemburu, kecewa dan putus asa yang bisa Anggi rasa saat Doni mengiyakan apa yang dikatakan Selfi. Lebih menyakitkan lagi ketika Doni tak bisa memilih antara dia atau Selfi.
***
"Mungkin kamu lupa padaku, tapi aku tak akan pernah lupa wajahmu, wanita yang sudah menghancurkan hubunganku dengan Doni." hardik Selfi dengan nada tinggi membuat Gendhis kembali sadar dari nostalgia yang tak ingin dia rasakan lagi. Spontan orang-orang yang berdiri di depan gedung pun menengok ke arah mereka.
"Alhamdulillah, bila kamu sudah terlepas dari maksiat itu," Gendhis masih menjawab dengan lembut meski air mata mengalir deras di pipinya.
"Ah, sok suci kamu, kamu tahu itu maksiat tapi kamu lakukan," Selfi mengumbar emosinya lebih menjadi.
"Iya, dan sekarang aku sudah taubat, dan berjanji tidak akan melakukannya lagi," ucap Gendhis terdengar parau.
Gendhis tertunduk tak berani membuka mata, seakan semua mata tengah menghardiknya. Semua orang tengah mengiyakan apa yang Selfi beberkan tentang dirinya. "Oh ternyata Ibu Gendhis dulu perusak rumah tangga orang, dia wanita penghibur, selama ini dia hanya memakai topeng...," kalimat-kalimat itu seakan terdengar jelas menghakiminya. Sedangkan Selfie masih terus mendakwanya sebagai manusia bertopeng, "Pelacur berbalut busana muslim."
"Astaghfirullahhaladzim," terdengar suara wanita tua yang seketika mengheningkan suasana.
"Ada apa ini Ukthi?" wanita itu menepuk pundak Gendhis beberapa kali.
"Gendhis," tepuknya lebih keras.
"Astagfirullah, iya Umi," Gendhis memeluk wanita yang dia panggil sebagai umi dan membenamkan tangisnya dalam pelukan wanita yang sedikit lebih tua darinya itu.
"Asal kalian tahu, dia itu Anggi, dia itu pelacur, dia yang menghancurkan hubungan..."
"Cukup," teriak Umi menghentikan Selfi yang masih terbakar emosi dan ketidakpuasannya melihat Gendhis. Orang-orang yang sebelumnya berbisik-bisik pun seketika diam.
"Maaf, Mbak ini siapa? Apa maksud Mbak mendakwa Gendhis seperti itu?" bantah Umi pada Selfi yang masih menggerak-gerakkan bibirnya, "dan kalian, kenapa kalian hanya diam menyaksikan perdebatan sesama muslimah yang sungguh tidak patut ini?" tegas Umi pada orang-orang yang hanya berdiri mematung.
"Maaf Umi, kami pun tidak berani berkata apa-apa melihat dia yang tiba-tiba menghardik Mbak Gendhis begitu, mungkin itu masalah pribadi mereka,"
"Sebagai seorang muslimah seharusnya kita menjadi pribadi yang lemah lembut dalam tutur dan tingkah laku, bukankah kita bisa membicarakannya secara kekeluargaan?" dengan bijak umi menjelaskan.
"Aku tidak bermaksud apa-apa, aku hanya ingin menekankan kepada dia agar tidak membodohi orang lain dengan topengnya," Selfie menudingkan jarinya ke arah Gendhis yang masih dalam pelukan umi.
"Astaghfirullahhaladzim, topeng apa yang kamu maksud? Mungkin Gendhis di masa lalu seperti apa yang kamu bilang, namun sebuah anugerah karena Gendhis sekarang sudah bertaubat, semoga Gendhis menjadi hamba yang dicintai Allah dan diterima taubatnya."
Suasana hening, tak ada yang berani berkata satu patah kata pun. Suara tangis Gendhis pun mereda. Gendhis beranjak dari pelukan umi lalu menghampiri Selfie yang berganti menjadi pusat perhatian.
"Selfi, memang dulu aku pelacur, bahkan mungkin aku lebih hina dari pelacur, dulu aku membutakan mata dari kehadirat Allah atas perintah dan larangan-Nya, menulikan telinga dari sekian panggilan kasih-Nya."
Semua terdiam memandang Gendhis mengucapkan kata demi kata yang terucap dengan tenang dan lembut.
"Cinta yang dulu aku agungkan adalah cinta kepada maksiat, yang membuatku terlena pada kepalsuan dunia, dan kamu datang memberitahuku akan luka hati dan jiwa yang ternyata kubiarkan dia menganga dan menggerogoti nurani. Kamu datang membawa pengakuanmu, memperlihatkan luka yang waktu itu tersamarkan, namun akhirnya aku sadar aku harus mengobati sakit jiwaku itu."
Gendhis berjalan mendekati Selfi yang berpura tak mendengar, diraihnya tangan Selfie yang terlipat di dadanya, dan memaksa Selfi untuk memandangnya.
"Dulu aku pergi ke sini untuk melarikan diri, lari dari kenyataan yang belum bisa aku hadapi. Aku tak sanggup bertahan di sana, karena aku akan terjerumus lebih dalam lagi. Dan beliau," Gendhis menengok ke arah umi, "dia adalah guru dan ibu keduaku, dia yang membantu dan membimbingku kembali ke jalan Allah, dengan bertaubat dan memperbaiki diri, terimakasih Fi," Gendhis memeluk Selfie dengan penuh kasih sayang.
Selfie yang sebelumnya seperti terbakar emosi tak berkata apapun apalagi melawan dan menolak pelukan Gendhis, tak lama air mata pun jatuh dari kelopak mata Selfi membasahi pundak Gendhis.
Selfi membalas pelukan Gendhis dan berkata, "Aku yang harusnya minta maaf padamu Gendhis."
"Sudah kumaafkan, kamu boleh memanggilku Anggi," Gendhis melepas pelukannya, lalu tersenyum dan menghapus air mata Selfi dengan kedua ibu jarinya.
Semua mata yang menyaksikan adegan itu menangis haru, betapa hidayah Allah bisa datang di mana saja, bahkan di negeri Hong Kong yang jauh dari mengenal agama. Seusai salat maghrib berjama'ah dengan beberapa orang yang masih tertinggal dan menyaksikan kejadian itu, untuk pertama kalinya Gendhis berbicara tentang ilmu agama yang dipelajarinya setelah sebelumnya dia bercerita tentang perjalanan hidup yang membawanya bercita-cita menjadi hamba Allah yang diterima taubatnya.
the end!
Cerita ini hanya fiktif belaka. Cerpen ini sudah dimuat di koran Apakabar+ Hong Kong di rubrik Pojok Victori edisi 6-19 Juni 2015.
Baca juga Pesan Terakhir
Biodata Penulis :
Suryani Oki Riski, akrab disapa Rainy Okkie. Profil Rainy bisa dilihat dilihat di FB Rainy Okkie, rarainy44@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar