KONTAK SAYA

Rindu dan Sebuah Tanya

Rindu dan Sebuah Tanya

Oleh : Suryani O.R


Malam itu, hujan turun lebat. Petir menggelegar seolah hendak membelah langit. Aku duduk menatap layar TV yang gelap karena tak berani menyalakannya. Telepon rumah kuletakkan di atas meja agar mudah diraih ketika dia menelepon sesaat lagi, kuharap. Gemuruh air hujan yang memantul di jalanan kian menderu-deru membuat kekhawatiranku semakin menjadi. Di manakah Erfan sekarang, tidak biasanya dia terlambat tanpa memberi kabar.

Sebenarnya bukan sekedar rasa khawatir yang membuatku tidak sabar, tetapi juga tisu basah itu. Untuk apa Erfan membeli tisu basah? Apalagi dengan bungkus warna pink? Aku berharap tisu itu bukan milik orang lain, apalagi wanita lain. Itu pasti miliknya yang dibeli dengan terpaksa. Begitulah aku terus berusaha meyakinkan diri sendiri.

Yang ditunggu tiba, telepon berdering dan aku segera meraihnya. 

“Ya ini saya istrinya. Apa? Di mana?

Cengkareng? Bapak jangan main-main! Oh Tuhan, saya akan segera ke sana!”

Gagang telepon terjatuh, tanganku gemetar dan dadaku berdenyut cepat mengiringi nada sambungan telepon terputus. Apa yang terjadi pada Erfan? Bagaimana keadaannya? Semoga dia baik-baik saja. 
Seraya terus melafalkan doa, aku kembali meraih gagang telepon dan mencoba menghubungi saudara atau siapa pun yang mungkin bisa mengantarku segera.

Bagaimana caranya pergi ke sana?  Hari sudah terlalu larut, sementara hujan masih belum mengalah pada gelap. Ah, untuk apa Erfan pergi sejauh itu? 

***

“Ibu yang tabah ya,” ujar seroang suster seraya mendorong pintu kamar ICU.

Tubuhku membeku, kalimat suster tadi bagai kunci yang mengantarkanku pada kenyataan bahwa lelaki yang terbujur tak berdaya benar Erfan, suamiku. Matanya terkatup rapat dan membengkak. Balutan perban di kepalanya masih merembeskan darah. Corong oksigen menutup mulut dan hidungnya, sementara kantong infus menetes begitu cepat.

Aku tergugu seraya mengusap wajah Erfan. Ini pasti tidak benar. Pasti hanya mimpi! Tadi pagi Erfan baik-baik saja, dia bahkan berpesan untuk memasakkan spagheti sebelum mengecup keningku dan masuk ke mobil. 

Tak lama kemudian, suster itu mengantarku mengurus proses administrasi agar Erfan bisa segera dioperasi. Aku benar-benar linglung tidak tahu apa yang bisa dilakukan selain menangis sedangkan saudara-saudara Erfan belum ada yang membalas pesanku.

“Apakah wanita yang kecelakaan bersama Pak Erfan juga keluarga Ibu? Dia mengalami pendarahan hebat, dan harus segera dilakukan operasi caesar untuk menyelamatkan bayinya.”

“Wanita? Siapa maksud suster?”

“Kami belum tahu identitasnya, Bu. Tetapi menurut laporan, wanita tersebut ditemukan bersama Pak Erfan di mobilnya. Jadi bagaimana Bu? Kita harus cepat!” tegasnya lagi sambil mengarahkan langkahku ke ruang administrasi. 

Wanita hamil? Di dalam mobil bersama suamiku? Siapa dia? Pertanyaan itu terus berseliweran membuat kepala berkunang-kunang dan pandanganku semakin kabur. Sebentuk tandatangan kububuhkan dengan jari gemetar menyetujui apa pun yang tertera di surat yang tak sepenuhnya kubaca itu.

***



Aku mengerjapkan mata dan mendapati Erfan masih terdiam dengan grafik di monitor yang juga masih bergerak lambat.

“Mas, bangun! Ini aku, Mas!” rintihku dalam jemari yang menggenggamnya erat.

“Mas kan sudah janji akan selalu setia menemaniku.”

Tiba-tiba, dokter bersama seorang suster masuk dan membuatku sedikit terperanjat. Mereka mengucap salam lalu memintaku keluar. Kupandang lekat-lekat kaca kecil di pintu ICU berharap bisa melihat apa yang sedang mereka lakukan. Handphoneku bergetar, beberapa pesan masuk hampir bersamaan diikuti panggilan yang saling bertabrakan. Satu-persatu aku menjawabnya dengan berlinang airmata. 

Ibu dan bapak mertua datang bersamaan keluarnya dokter itu dari ruang ICU. Kami menghampirinya, dan mereka berebut melontarkan pertanyaan yang sama, bagaimana keadaan Erfan?

“Kenapa bisa kecelakaan? Kenapa kamu tidak menyuruhnya cepet pulang selesai kerja sebelum hujan turun? Semalam hujan sangat lebat, jalanan pasti licin. Kamu sungguh istri tidak berguna!”

Makian ibu mertua itu hanya bisa kujawab dengan tangisan seperti yang sudah-sudah. Ini bukan kali pertama dia mengataiku sebagai istri yang tidak berguna. Mandul, tidak bisa membahagiakan suami juga mertua.

***

Empat hari sudah aku menemani Erfan di rumah sakit. Dia sudah dipindahkan dari ruang ICU meski masih belum sadar. Sementara wanita yang kecelakaan bersamanya sudah menjadi ibu setelah operasi berjalan lancar. 

Dengan menaruh segenggam harap, aku melangkah menghampiri wanita itu juga bayinya. Dia terbaring membelakangi pintu seolah tak ingin melihat siapa pun. Aku sudah mendengar sedikit tentang dia, suster bilang ada kemungkinan dia mengalami depresi berat.

“Selamat atas kelahiran anakmu, aku turut bersyukur dia baik-baik saja, maafkan suamiku atas kecelakaan itu,” ujarku seraya menarik kursi dan duduk di depannya. 

“Kulihat bayimu belum diberi nama,” celetukku lagi seraya melirik bayi mungil di ranjang bayi tepat di belakang punggungnya. 

Ia tetap acuh, tatapannya jauh seolah menembus dinding-dinding rumah sakit. Aku juga mendengar kalau dia sama sekali tidak tertarik untuk menengok apalagi menyentuh dan menyusui buah hatinya. Namun tak ada yang tahu kenapa
“Suamiku, sekarang dinyatakan koma. Entah kapan dia akan sadar, dokter bilang bisa satu minggu, satu bulan atau bahkan satu tahun. Namun aku harap secepatnya. Biaya operasimu tak usah dipikirkan, aku hanya ingin kamu ceritakan apa yang terjadi sebelum kecelakaan itu menimpa kalian? Bagaimana kamu bisa bersama suamiku malam itu, dia tidak pernah bercerita tentangmu selama ini.”

Aku menarik kursi lebih dekat, tanganku meraih jemarinya penuh harap. Dia tetap tak tertarik untuk melihatku, matanya berlingkar hitam nampak begitu lelah. Pandangannya kosong seakan tak ada objek apa pun yang tertangkap bola matanya. Bibirnya yang tipis terkatup rapat, sementara napas yang keluar masuk dari hidungnya yang mungil dan mancung itu begitu lembut dan teratur. Kuakui dia cantik, lebih cantik dariku.

Rasa cemburu yang sebenarnya sudah kucoba enyahkan tetap saja kembali menyergap. Apakah dia ada hubungannya dengan tisu basah yang kutemukan? 

Kenyataan bahwa malam itu dia bersama Erfan menaiki mobil hingga ke Cengkareng. Untuk apa? Tidak masuk akal bila itu kebetulan. Kalau sekedar bantuan, Erfan bisa membayarkan taksi untuknya. Kalau mereka tidak saling kenal, untuk apa Erfan menerjang hujan yang begitu lebat demi mengantarnya sementara istrinya  menunggu di rumah dengan cemas. 

“Aku mohon katakanlah sesuatu! Kamu tidak memiliki hubungan apa pun dengan suamiku kan? Katakan kalau malam itu hanya kebetulan! Aku mohon katakanlah!” 

Aku tergugu di sisi ranjang, pikiranku benar-benar kalut. Aku masih menggenggam tangannya yang tidak dia balas, tidak juga dia singkirkan. Saat genangan di mataku menetes, aku pun melihat matanya mengembun, tetapi dia tetap diam. Aku mengguncang pundaknya, dan terus memaksanya bercerita. 

Bayi itu terusik, tangisnya pecah menggema ke seluruh sudut kamar. Mungkin tangis itu tak ubahnya  permintaan agar aku diam dan melupakan semuanya. Tapi tidak semudah itu, Nak. 
Wanita itu tetap mematung dalam kebisuannya, dia tidak menoleh meski tangis anaknya semakin menjadi. Aku hampir ingin membenci bayi itu bila ternyata dia benar-benar anak Erfan, tetapi aku terlanjur kasihan menyaksikan pilu tangisnya. Dia seperti halnya diriku yang tak dianggap, seperti aku yang tak pernah diinginkan oleh keluarga Erfan karena tak bisa memberi keturunan, dan selalu disalahkan atas takdir yang tak bisa kukendalikan.

***

Pagi itu, aku kembali menyusuri koridor rumah sakit. Harapan akan kesembuhan Erfan masih kugenggam kuat. Meski dari hari ke hari langkahku semakin berat, tak ada satu pun dari keluarga Erfan yang benar-benar simpati padaku. Mereka hanya datang untuk menangis di sisi ranjang Erfan kemudian berlalu tanpa mengakui keberadaanku di sana. Sementara wanita itu pun masih bisu dan membiarkan ribuan pertanyaan yang bersarang dalam benakku berkarat.

Beberapa orang suster terlihat gusar. Mereka keluar masuk kamar wanita itu dengan tergesa-gesa. 

“Wanita itu hilang, Bu! Sepertinya dia meninggalkan rumah sakit pagi tadi,” tutur seorang suster saat berpapasan denganku.

Aku terkejut bukan kepalang. Wanita itu pergi meninggalkan rumah sakit diam-diam? Meninggalkan anaknya yang masih merah sebatang kara? Meninggalkan pertanyaanku tanpa membisikkan satu jawaban apa pun dan tanpa rasa bersalah? Oh Tuhan. Dia boleh mengacuhkanku tetapi dia tidak bisa mengabaikan anaknya yang tidak tahu apa-apa.

***

Petir kembali menggelegar, titik-titik air hujan pecah saat menghantam kaca jendela. Aku menghela napas, entah kenapa hujan selalu mengingatkanku pada tragedi sembilan tahun lalu. Aku tidak tahu apakah aku harus membenci hujan karena ia selalu mengingatkanku pada sebuah tanya yang tak terjawab hingga sekarang. Pertanyaan yang tak akan bisa bertemu dengan si pemilik jawaban. Wanita itu benar-benar menghilang sejak pagi itu. Sementara Erfan, dia pun berpulang hanya sesaat setelah selang oksigen yang membantu pernapasannya selama dua bulan menempel, kuijinkan untuk dicabut. 

Sebenarnya aku bisa melakukan tes DNA pada anak tersebut, dan semua kenyataan akan terkuak. Hanya saja, aku tak siap untuk mengetahuinya,  tak akan mudah bagiku menerima kenyataan tersebut tanpa terluka.

Aku juga tak yakin bisa menerima anak itu dan menciptakan rintik-rintik bahagia di antara kami seperti saat ini. Menyambut peluknya dengan bangga saat dia turun dari panggung membawa piala kemenangan dan memanggilku 'Ibu'. Kebahagiaan yang tak akan bisa kunikmati bila sebuah tanya di masa lalu itu pada akhirnya menyatakan perselingkuhan sebagai jawabannya. 

Kunaikkan selimut hingga ke leher gadis yang tengah lelap itu. Gadis kecil yang ditinggalkan ibunya setelah kecelakaan bersama suamiku, dia bernama Rindu Hardika. Gadis yang kemudian mencantumkan namaku sebagai ibu di akta kelahiran juga piagam-piagam penghargaan. Tak peduli darah daging siapa yang tertanam dalam tubuh Rindu, bagiku dia adalah anugerah yang Allah takdirkan menjadi bagian dalam hidupku, sebagai putri kecilku. 

Kutatap sekali lagi, pecahan-pecahan air hujan yang berderai di kaca jendela, kemudian beranjak menekan saklar lampu dan jendela itu pun kemudian gelap seakan mengakhiri pertunjukannya untukku tentang masa lalu, tentang Rindu dan sebuah tanya yang tak terjawab.

NT Hong Kong, 03 Oktober 2015

Cerpen ini dimuat di media Apakabar+ 
Edisi 20 Februari 2016


Baca juga Cerpen Sepasang Mata Nila


Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Posting Komentar