Aku Mencintaimu
Oleh : Rainy Okkie
Aku masih terdiam mengagumi Pram yang tetap terpejam di ranjang putih
yang sudah dia diami lebih dari lima pekan. Entah sudah berapa kali aku hanyut
menelusuri lekuk wajahnya yang ternyata telah banyak dihiasi guratan halus mengiringi usia Pram.
"Yah, apa Ayah masih ingat tentang siswa gadungan yang suka
menguntitku setiap pulang sekolah?" tanyaku seraya mengusap kening
Pram.
Ah, siswa itu. Aku yakin Pram masih mengingatnya. Siswa nakal yang selalu
membuntuti langkahku ke mana pun. Dari pagi sebelum masuk ke kelas, padahal
kelasku dan kelasnya terletak di ujung yang berseberangan. Kadang aku gemas
juga geli, saat melihat dia terbirit-birit menuju kelasnya setelah menimpukku
dengan bola dari kertas kosong. Dia akan muncul lagi saat jam istirahat, juga
jam pulang sekolah. Namun sebenarnya aku juga geram karena kehadirannya hampir
selalu membawa musibah dalam hidupku.
"Kau ingat kan, Yah? Aku menjulukinya si Kucing hitam? Padahal
kulitku sebenarnya lebih hitam. Namun, seperti si mbok pernah ceritakan, kalau
kucing hitam itu pembawa sial. Dan Ayah ingat, ketika dia hampir selalu membuat
rokku basah ketika harus berpapasan di kantin? Ayah pasti menertawaiku kalau
mengingatnya?"
Aku berhenti memainkan anak rambut Pram. Sama sekali aku tak ingin
mengusiknya lagi. Apalagi mengguncangkan bahunya agar ia terbangun, rasanya dia
lebih nyaman dalam terpejamnya itu. Aku hanya ingin mengatakan dan menceritakan
kembali tentang si kucing hitam yang ternyata kurindukan. Aku telah kehilangannya
untuk akhirnya mendapatkan Pram.
Hari itu, seharusnya menjadi hari spesial sebelum akhirnya dia
mengacaukan semuanya. Membuat jerih payahku yang sudah menghabiskan tiga jam
usai jam sekolah selama dua bulan berturut-turut untuk belajar memainkan peran
dengan baik, ternyata harus berujung sia-sia.
Beberapa grup sudah maju ke atas panggung. Kakak kelas yang hari itu akan
dilepas oleh kepala sekolah untuk melanjutkan petualangan di jenjang berikutnya
pun nampak bersuka cita atas perayaan tersebut. Di ruang persiapan, aku
mondar-mandir ke sana kemari. Membongkar semua tas teman-teman, melongok ke
lorong-lorong kursi, merogoh tiap laci meja bahkan berlari ke ruang-ruang lain
untuk mencari kostum Bawang Merahku. Setengah jam lagi giliran kelompok dramaku
yang harus tampil, tetapi bagaimana aku bisa berdiri di atas panggung tanpa
kostum? Kostum yang sudah dirombak empat kali oleh si mbok karena ukurannya
yang tidak kunjung pas kini tiba-tiba hilang begitu saja.
Tigapuluh menit waktu yang sangat singkat, aku juga hampir kehabisan
napas berlari tak tahu arah. Dia, yah dia membuntutiku seperti kucing, persis
seperti kucing hitam yang licik. Tiba-tiba dia muncul di ujung tembok,
membuatku tersentak bahkan terjatuh saat tubuh bongsornya tertabrak tubuh
mungilku. Dia selalu mengganggu, benar-benar membawa sial dalam hidupku.
Membuat waktuku yang sedikit itu harus terbuang percumah hanya untuk
melayangkan tatapan kesal padanya.
Hingga waktu yang dinanti tiba. Anak-anak mengataiku ceroboh, dan bodoh.
Memang, gara-gara kostum itu semuanya jadi kacau. Drama Bawang Merah dan Bawang
Putih tidak mungkin tampil tanpa salah satunya. Mau tidak mau, drama harus
diganti dengan drama cadangan Ande-Ande Lumut. Sungguh kostum yang tidak cocok,
dialog yang tidak karuan dan tertukar-tukar, dan hal paling menyebalkan, ialah
tidak ada aku di sana.
"Ayah, kau tahu betapa kesalnya aku saat itu ketika setelah
pementasan selesai, dia-" aku mengelap ingus yang meleleh di atas bibir
dengan tisu sebelum melanjutkan kalimat yang ternyata masih menyimpan kekesalan
pada si Kucing hitam, "Dia dengan begitu PD-nya menghampiriku dan
memberikan kostum itu!" tuturku dengan nada tinggi dan aku segera menarik
napas. Mengatur kembali suaraku agar lebih pelan, aku tidak boleh mengusik Pram
yang terlelap.
Namun memang benar dan kuakui, aku sangat marah waktu itu. Batas
kesabaranku pun habis menghadapi lelaki aneh yang bertingkah layaknya anak
kecil hyperaktif. Aku merebut kostum itu dari tangannya, mulutku bergerak
komat-kamit ingin sekali memakinya karena kalimat makian itu memang sudah
melonjak-lonjak di ujung kerongkonganku. Tetapi tidak! Si mbok selalu bilang
bahwa wanita itu lemah lembut. Kalimat itu pun harus puas tetap berada di sana,
tak ada getaran suara atau luapan emosi apa pun untuknya.
"'Aku tidak mau kamu berperan jadi gadis manis yang jahat Mita'. Emm
begitulah Yah, yang diucapkannya padaku waktu itu, lucu kan? Itu sebabnya aku
segera terpaku bisu," tuturku lagi pada Pram yang masih saja terpejam
seperti detik-detik sebelumnya.
Lagi-lagi aku menyelami setiap detail wajah Pram yang selama delapanbelas
tahun ini mengarungi hidup bersama dalam sebuah rumah tangga yang teramat
bahagia. Meski hidup kami seadaanya. Pram, dia yang tersenyum dalam lelapnya.
Matanya mengatup rapat, semakin larut aku memandanginya aku semakin bersyukur
menjadi wanita pilihan yang berhak mendampinginya. Melahirkan anak
kesayangannya yang manis dan tampan seperti dia.
Kunaikan sedikit selimut lorek khas rumah sakit itu agar menutup hingga
ke lehernya, aku tak ingin dia kedinginan.
"Dan, kau tahu, Yah? Sejak saat itulah sepertinya aku mulai
mencintainya. Mencintai si Kucing hitam. Dia mengajakku ke ruang kelas IPA 1,
dia memberiku selendang putih dan memintaku bermain menjadi Bawang Putih. Dia
bilang gadis sepertiku sangat cocok memerankan peran yang anggun dan bersahaja.
Aku tak pernah mengira ternyata di balik keusilannya, dia menaruh perhatian
padaku. Ayah jangan cemburu ya! Bukan aku tidak mencintai Ayah, tetapi aku juga
memang pernah mencintai dia dan aku ingin Ayah tahu rahasia ini sebelum
semuanya terlambat."
Tak ada jawaban, tetapi aku yakin Pram mendengarnya. Tubuhnya semakin
terasa dingin, airmataku pun sudah menderai tetapi aku selalu sigap
mengusapnya. Tak akan kubiarkan titik-titik itu justru mempersulit jalan Pram
nanti.
Aku masih sangat ingat, semenjak kejadian itu si Kucing hitam mulai
jarang menggangguku. Dia lebih sering tersenyum malu-malu, menguntitku
diam-diam dan berpura menoleh saat aku memergokinya. Entah apa yang terjadi
padanya, tiba-tiba dia berubah menjadi siswa yang rapi, rajin dan teladan. Aku
tahu sesungguhnya dia tampan, dan teman-teman pun mulai menyadarinya. Aku tak
pernah menyangka dia menjadi salah satu murid yang bediri di atas panggung
sebagai salah satu dari sepuluh lulusan terbaik.
Aku semakin tak percaya pula, ketika kepala sekolah memberinya waktu
untuk mengucapkan sambutan atau sekedar ucapan terimakasih dan salam
perpisahan, dia justru menyatakan cinta padaku.
"Kau tahu, Yah? Aku rasa itu adalah pernyataan cinta paling romantis
yang pernah ada di dunia, juga di novel-novel cinta yang pernah dan yang belum
ada." Aku berhenti sejenak, mengernyitkan kening mengingat lagi pernyataan
cinta yang tak segera berbalas bahagia itu. "Aku bisa membayangkan betapa
malunya dia ketika aku justru melemparinya dengan gulungan buku tulis sebelum
aku meninggalkan ruangan. Harusnya dia juga memikirkan perasaanku, tentu aku
pun malu dia mengatakan cinta di depan banyak orang dan wali murid, termasuk si
mbok. Meski kuakui Yah, aku pun tersenyum dalam sela-sela tangisku mendapati
perlakuan seromantis itu."
Dan, ternyata waktu begitu cepat berlalu. Hari itu juga, aku meminta si
Kucing hitam melakukan sesuatu agar aku bisa jatuh cinta padanya. Meski aku
sendiri tak bisa memberi tahu bagaimana persisnya yang harus dia lakukan
untukku.
Namun dia memang membuktikan ucapannya. Dia terus membawa dirinya dalam
keadaan yang selalu lebih baik meski dia juga tetap menjadi Kucing hitam yang
mengikutiku. Mencari informasi hingga detail tak penting dari setiap lelaki yang
dekat denganku tanpa sepengatahuanku, tentu. Lalu dia akan berusaha begitu
keras untuk menjadi lebih baik dari mereka.
Hubunganku dengan dia selalu baik, meski tidak berpacaran karena aku
belum menemukan sesuatu darinya yang membuatku jatuh cinta. Namun kurasa dia
tidak tahu sesungguhnya aku sangat merindukannya, merindukan si Kucing hitam.
Aku rindu kejahilannya, juga bola-bola kertasnya yang kosong tetapi menyiratkan
banyak ungkapan perasaan. Aku rindu dia memberiku sekotak tisu yang dia serobot
dari meja kantin untuk membersihkan rokku. Aku begitu merindukannya hingga aku
tersadar aku telah kehilangan si Kucing hitam yang membuatku jatuh cinta.
"Ayah, aku telah kehilangan dia untuk kemudian memilikimu."
Kuusap lagi kening Pram dengan gerakan yang sama.
Ya, aku memang kehilangan si Kucing hitam untuk selamanya, karena dia
telah menjelma menjadi lelaki menawan yang bersahaja. Lelaki yang membuatku
jatuh cinta tanpa aku tahu sejak kapan aku merasakannya. Aku juga tak tahu
pasti kapan tepatnya Pram berhenti menjadi siswa gadungan yang selalu membuatku
susah hingga berhasil membuatku jatuh cinta, dan memaksaku berhenti
memanggilnya si Kucing hitam.
Sekarang, Pram pun harus segera bersiap meninggalkanku, melanjutkan lagi
perjalanan di kehidupan berikutnya. Aku sudah ikhlas, aku tahu perpisahan itu
memang akan terjadi.
"Aku mencintaimu, Pram. Sejak kamu masih menjadi si ..., Ayah, aku
tak pantas lagi menyebut nama panggilanmu itu. Itu tidak akan baik. Aku
mencintaimu, mungkin sejak kamu menyembunyikan kostum Bawang Merahku dan masih
mencintaimu hingga detik ini, dan akan tetap mencintai suami yang akan selalu
kurindukan, tunggu aku di sana, Yah."
Aku tak kuasa lagi, ternyata tanganku tak cukup terampil untuk menghapus
linangan airmata yang terus menetes. Tyo, anak laki-laki kami menguatkan
rangkulannya di pundakku. Waktu yang dokter berikan mungkin sudah habis
beberapa menit lalu. Kisahku dan si Kucing Hitam mungkin memang akan terlalu
panjang untuk dikisahkan. Namun aku harap Pram mendengar semua pengakuanku, bahwa
aku sudah mencintainya sejak dia masih menjadi siswa yang menyebalkan.
"Aku mencintaimu, Ayah."
Tamat
0 komentar:
Posting Komentar