KONTAK SAYA

Scally Gadis Nakal?

Scally Gadis Nakal?
Oleh : Rainy Okkie


Lantai berapa Nduk?” tanya seorang TKW, ibu-ibu tigapuluh tahun kira-kira. Kami sedang menunggu lift yang masih ada di lantai 8.
Lantai 14 Buk,"
Eh aku lo iya, 14 juga. Nomer 3, kamu nomer berapa?”
Aku nomer 4, sebelahan berarti, Buk,” tuturku sumringah karena merasa mendapat tetangga.
Namun ibu-ibu itu justru muram dan tak lagi berkata-kata.
Jaga anak perempuan itu ya? Hati-hati Nduk, anaknya super nakal. Suka mukul, nginjek, juga ngelemparin barang-barang.” bisik ibu itu setelah kami masuk lift.
Aku terkejut mendengar penuturannya yang diirigi mimik serius dan penuh penekanan. Meski sudah tiga hari bekerja, aku memang belum bertatap muka dengan Scally. Hanya raut wajahnya yang kujumpai dari beberapa foto yang dipajang di rak TV.
Apa Ibuk kenal sama anak itu?” tanyaku kemudian.
Sering ketemu kalau dia berangkat sekolah. Cuma cece yang dulu itu suka ngadu terus ngasih lihat memar di tubuhnya. Nggak ada yang betah lebih dari tiga bulan, malah-”
Pintu lift terbuka, kami keluar bersamaan dan kalimat ibu itu pun terputus menyisakan penasaran yang terus menggelitik isi kepalaku. 'Malah' apakah yang ibu itu maksud? Adakah kejadian yang lebih buruk dari yang sudah kudengar tadi?
Meski sudah bersikeras untuk mencoba mengenyahkan perbincangan dengan ibu-ibu tadi, tetapi rasa gusar dan penasaran tetap enggan menjauh. Mungkin menerima pekerjaan ini benar menjadi keputusan yang salah, karena aku tidak memiliki pengalaman merawat anak. Meski anak-anak di sini terkenal nakal, namun aku tak pernah menduga akan seperti Scally.
Bel berbunyi tepat jam 7 malam, seulas senyum sudah kusiapkan untuk menyambut Scally, berharap bisa menjadi awal yang baik bagi perkenalan kami. Aku yakin raut wajahku sudah sangat ramah saat ini.
Sedikit terperanjat aku mengulum kembali senyum yang sempat tergambar sesaat. Sinsang mendorong kursi roda itu masuk ke dalam diikuti istrinya. Gadis kecil yang mendudukinya terlelap tak terusik oleh goncangan saat roda melewati pintu. Kekhawatiran yang sepanjang hari menghantui tiba-tiba memudar saat melihat gadis nakal itu terkulai tak berdaya. Sinsang membopong Scally dan membaringkannya di kamar dengan sangat pelan. Anak itu tetap terlelap, wajahnya pucat dengan tubuh yang sangat lunglai bagai tak bertulang.
Aku hanya mengamati dari luar pintu, tanpa berani mendekat. Setelah sinsang keluar kamar suasana pun hening. Sementara aku lebih seperti orang idiot tak tahu harus bagaimana melihat mereka saling terdiam dengan raut wajah berduka. Ada apakah dengan anak itu?
Lina, kamu sudah menyiapkan seragam sekolah Scally kan?” tanya thai-thai di saat kami menyantap makan malam.
Sudah, Thai-thai. Apa besok Scally harus sekolah?”
Melihat keadaan Scally seperti itu, mungkin istirahat di rumah akan lebih baik pikirku.
Kalau dia meminta sekolah, antarkan saja,” jelas sinsang tenang.
Jangan lupa, selalu gandeng tangannya saat jalan. Temani dia saat istirahat, ingat jangan biarkan dia makan sembarangan. Oya, setiap 5 atau 10 menit sekali kamu harus menanyainya apa dia capek dan pusing.”
Ma, cukup!” tukas Sinsang dengan tegas, sorot matanya menatap sang istri mengharap pengertian.
Sementara aku semakin merasa linglung tidak mengerti dengan daftar wejangan dari thai-thai kurasa tidak wajar untuk gadis usia 11 tahun!
Tapi, Pah. Scally sakit, kita harus sangat memperhatikannya. Sementara kita tidak bisa melakukannya,” sahut thai-thai kecewa seraya meletakkan sepasang sumpitnya. Dia menunduk dan mengatupkan kedua telapak tangan di wajah. Sinsang merangkul istrinya itu lembut dan aku hanya bisa menekuri meja. Terpaku kikuk dan serba salah!
Mengertilah, Ma! Kita tidak bisa terus memperlakukan Scally begitu. Dia akan semakin tertekan! Biarkan dia merasakan bahagia sebagai anak-anak.” Sinsang mengusap-usap bahu istrinya yang larut terisak.
Lina, kamu cukup antar dia ke sekolah dan awasi dia dari jauh. Jangan sampai keberadaanmu membuatnya terganggu. Dia sudah besar dan bisa menjaga diri.”
Baik, Sinsang.”
Aku mengangguk mantap meski sebenarnya aku belum tahu persis bagaimana bisa mengawasi anak itu tanpa membuatnya terganggu? Entahlah, sepertinya ini akan lebih sulit dari yang kubayangkan.
***
Matahari mulai naik, kedua majikanku sudah berangkat kerja jam 6 tadi setelah sebelumnya mengecup kening Scally. Aku duduk di sisi ranjang memangku seragam sekolah Scally dan menunggunya bangun. Tak lama kemudian dia membuka mata, menguceknya beberapa kali dan terbelalak melihatku. Aku ikut terperanjat ketika dia tiba-tiba melompat dari ranjang dan mengawasiku curiga.
Cosan, Scally. Kita harus bersiap kalau tidak kita akan terlambat ke sekolah,” ajakku dengan suara bergetar.
Kenapa kamu menyuruhku ke sekolah? Kamu belum tahu kalau aku sakit?” hardiknya ketus.
Bibirku semakin gemetar melihat dia menatapku tajam. Tangannya meraih sebatang bambu yang dia taruh di sebelah ranjang. Aku kembali teringat penuturan ibu tetangga sebelah tentang Scally yang sering memukul pembantunya, inikah giliranku?
Maaf, Scally! Kalau kamu masih merasa sakit, istirahat saja, Mama juga tidak memaksa-“
Aku mau sekolah!” bentaknya.
Dia melempar stik bambu ke atas kasur lalu merebut seragam di tanganku dengan kasar dan melesat ke kamar mandi. Mungkin inilah waktu pergulatan itu dimulai. Pergulatan dengan batinku sendiri, kesabaran akan diuji dan sepertinya aku harus bekerja keras mengendalikan emosi dalam menghadapinya.
Gadis yang galak dan kasar, pantas tidak ada yang betah merawatnya. Aku mengantarnya ke sekolah, meski lebih tepat dibilang mengikutinya. Dia berjalan beberapa langkah di depanku. Langkah kakinya mantap membawa tubuhnya yang nampak bugar. Tak terlihat sama sekali kalau dia tengah mengidap penyakit kronis. Aku hampir tak percaya kalau semalam melihatnya tergolek lemah di kursi roda.
Namamu siapa? Punya anak berapa?” tanyanya tiba-tiba.
Panggil saja Lina. Aku belum menikah,” jawabku dengan mantap.
Empat cece sebelumnya punya anak lebih dari satu, tetapi mereka tidak bisa merawatku. Apalagi kamu?” Scally menoleh dan memperlihatkan tatapannya yang mencemooh.
Sementara aku menciut, semangatku terpatahkan dengan begitu menyakitkan. Otakku membeku tak tahu bagaimana membela diri dan meyakinkan dia bahwa aku bisa jadi cece yang baik untuknya.
Aku akan selalu mengawasimu dari jauh,”
Scally berhenti dan menoleh tetapi tak berkomentar apa pun. Sorot matanya terlihat penuh kebencian. Namun entah di mana letak salahku. Seandainya aku bisa menemui cece yang dulu, mungkin aku bisa menanyakan apa saja yang Scally suka dan tidak darinya.
Huhh
Aku menghela napas panjang saat gadis itu telah lenyap di balik gerbang sekolah. Dia tidak menyukaiku, dan pasti keadaan akan terasa sangat menyebalkan. Jika dalam satu bulan keadaan tidak membaik, mungkin lebih baik aku menyerah.
Di bangku kayu tak jauh dari gerbang sekolah, aku duduk termenung. Seperti yang sinsang amanahkan agar aku tidak terlalu dekat dengan Scally, tetapi jangan sampai dia lepas dari pengawasanku. Sementara gerbang sekolah sudah tertutup rapat. Tak ada siswa atau guru yang keluar, semuanya aman, dan ini konyol! Kenapa sinsang begitu takut terjadi sesuatu pada anak yang sama sekali tidak menunjukan tanda-tanda sakit itu? Yang ada dia justru bisa membuatku terkena serangan darah tinggi dalam waktu dekat.
Jam istirahat habis, aku telah duduk di bangku sisi kanan gedung sekolah. Dari sini aku melihat Scally menikmati waktu istirahat dengan dua siswi dan satu siswa. Aku melihat dia menghabiskan bekal makan siangnya tanpa menambah makanan apa pun dari luar. Dia pun hanya meminum air putih dari botol minumnya yang kusiapkan tadi pagi. Sesuai perintah aku tak mendekat, aku juga tak mendapati dia berusaha mencariku. Atau malah dia sama sekali tidak peduli dengan keberadaanku.
***
Berempat, kami duduk bersama menikmati makan malam. Sejak pulang sekolah hingga detik ini, Scally belum berkata apa-apa lagi padaku. Sikapnya pun begitu acuh, seolah tak ada aku di rumah ini. Terakhir yang kuingat, dia sempat terkejut saat menemukanku masih duduk di bangku dekat sekolah saat jam sekolah berakhir.
Apa kamu merasa baik, Sayang?” tanya thai-thai memecah kebekuan.
Apa aku terlihat buruk?” sahut Scally ketus. Sama ketusnya seperti saat dia bicara padaku.
Apa ada pelajaran yang tidak bisa kamu kejar setelah libur lama,” sambung sinsang lembut.
Ah tidak ada yang sulit, Pa!” tegas Scally, meski tidak lagi ketus tetapi masih saja acuh.
Ternyata Scally tidak hanya dingin padaku, tetapi juga kepada orangtuanya. Namun tidak pada teman-teman sekolahnya. Tadi siang aku melihat Scally begitu ceria seperti anak-anak pada umumnya. Mungkin ada suatu alasan yang membuat Scally begitu pada orangtuanya juga padaku dan pembantu sebelumnya.
***
Pagi kembali datang, malam terasa begitu cepat berlalu. Rasanya baru sesaat aku meletakkan kesadaranku di atas bantal. Melupakan ribuan pertanyaan tentang cara seperti apa yang bisa kulakukan untuk menaklukan Scally. Well, saat ini memang dia belum bertindak keterlaluan dengan melukai fisikku. Namun sikapnya kemarin seolah menjadi aba-aba bahwa itu akan segera tiba.
Kemarin, dia menghentakkan kakinya kuat-kuat saat aku menyambutnya di gerbang sekolah. Tas sekolahnya di lempar ke tubuhku dengan kuat dan membuatku sedikit terhuyung. Sampai di rumah, dia melempar sepatunya ke ruang tamu. Menyalakan TV keras-keras dan aku tahu dia sama sekali tidak menontonnya. Dia marah besar, dan entah untuk kesalahan apa.
Di hari ke tiga ini pun, aku berjalan mengikutinya menuju sekolah. Kali ini aku berhenti seperti hari pertama mengantarnya. Aku tidak mau dipermalukan seperti kemarin siang lagi, toh tak ada yang perlu dikhawatirkan darinya sehingga aku harus mengantarnya hingga ke gerbang.
Namun tiba-tiba dia berhenti dan melihatku yang sudah duduk santai.
Kenapa berhenti di sini?” hardik Scally dengan tatapan penuh selidik.
Aku tertegun sesaat, “E, kamu bukan anak TK. Aku pikir kamu akan malu kalau diantarvke sana,” ujarku ragu.
Ya tentu.”
Aku hanya perlu mengawasimu.”
Aku tidak butuh diawasi, aku bukan anak kecil!” tuturnya tegas, seraya menghentakkan kakinya berlalu.
Mungkin aku bisa jadi teman, kamu sudah memiliki mama yang sangat sayang padamu. Jadi aku tidak perlu bekerja menggantikannya!” aku berteriak dan berusaha mengejarnya.
Scally berhenti, aku pun ikut berhenti dan tetap menjaga jarak darinya.
Aku tidak yakin kamu bisa melakukannya, satu pukulan untuk satu kegagalan!” tegasnya yang kemudian berlalu, tanpa menoleh dan berucap ‘bye’ seperti seharusnya.
Aku menjambak rambutku, gemas. Kenapa anak itu sungguh sulit dimengerti? Begini salah, begitu salah! Oh Tuhan.
Sinsang bilang aku harus selalu mengawasinya. Namun Scally tidak menginginkan itu, dan inikah yang menjadi alasan dia membenci orang-orang yang mengkhawatirkannya? Aku duduk di bangku kayu yang dari ke hari terasa semakin akrab layaknya teman sejati yang selalu setia mendengar segala keluh kesahku menjalani hari-hari di sini. Aku harus membuktikan, bila aku bisa jadi teman bagi gadis nakal itu.
Kenapa kamu tidak menjemputku di gerbang?” Scally sudah berada di depanku, nada suaranya tak lagi tinggi tapi tetap bukan berarti ramah.
Kamu bilang bukan anak kecil. Jadi pasti tahu jalan pulang, bagaimana masakanku tadi? Aku lihat kamu tidak berselera memakannya,” ujarku seraya melangkah.
Nasi gorengnya lumayan, cuma sebenarnya aku tidak suka udang.”
Oh, maaf. Apa akan ada pukulan karena aku salah?”
Tidak, jika kamu mau berkata jujur?” tanyanya sambil berlari kecil mengejarku.
Agamaku melarang berbohong!”
Kenapa kamu tidak seperti bodyguard seperti yang cece sebelumnya lakukan karena pesan mama? Apa kamu tidak takut aku pingsan? Apa aku tidak terlihat seperti anak penyakitant?”
Scally berjalan mendahuluiku dan berdiri menghadapku. Suaranya lembut dengan sorot penuh harap. Hatiku berdegup kencang, ada perasaan yang mendorongku untuk memeluknya. Aku tahu dia sakit, dan aku akan berbohong bila berkata iya.
Aku rasa kamu memang sehat! Cepat pulang! Pekerjaanku sama sekali belum selesai.” Aku memiringkan tubuhku dan berusaha berjalan meninggalkannya. Aku tak tahu benar atau salah atas apa yang kulakukan ini.
Aku akan membantumu!” jawab Scally terdengar cukup jauh di belakang. Aku tak percaya apa yang kudengar itu. Terlebih nada suaranya, dia bukan lagi Scally galak seperti beberapa menit sebelumnya. Suaranya tadi begitu lembut.
Dunia berbalik begitu cepat, secepat lift apartemen yang membawa kami dari lantai dasar ke lantai 14. Scally tiba-tiba jinak, tidak meletup-letup meski belum banyak bicara.
Aku pernah melihat cece yang dulu membuat Donat, apa kamu bisa?” tanyanya sambil menata piring ke dalam rak. Seperti ucapannya tadi siang bahwa dia akan membantuku.
Bisa, itu gampang. Aku juga bisa membuat toping donat yang lucu.”
Ayo kita buat!” ajak anak itu meraih tanganku.
Jantungku berdebar-debar seolah semua ini mimpi. Scally memegang tanganku begitu lembut? Kemana Scally yang ketus dan pemarah? Sejak kapan menghilangnya?
Meski sedikit repot karena banyak bahan yang harus dibeli dulu di supermarket, akhirnya donat buatan kami jadi juga. Meski aku kehabisan waktu untuk memasak makan malam, tetapi Scally berjanji akan menjelaskan pada orangtuanya, dan ia pun menjamin mereka tak akan memarahiku. Yah aku harap juga begitu, andaipun marah, itu tak mengapa. Kuanggap itu sesuatu yang harus kubayar atas kebersamaanku bersama Scally hari ini. Dalam hati aku masih tak percaya anak itu bisa tersenyum, tertawa dan begitu menikmati membuat bulatan donut bersamaku. Mungkinkah aku sudah menaklukannya? Sejak kapan?
***
Jam 12 lebih lima menit, Scally menghampiriku. Seperti hari-hari sebelumnya, senyumnya mengembang begitu manis. Wajahnya mulai nampak kemerah-merahan tak lagi pucat seperti dua bulan lalu saat pertama aku melihatnya terduduk lemah di kursi roda. Sebelum pulang kami akan mampir ke supermarket membeli coklat dan susu untuk membuat cookies.
Sepertinya cowok keriting itu naksir sama kamu?” godaku setelah dia melambai ke arah teman laki-laki yang selalu bersama gerombolannya.
Benarkah? Bagaimana kamu bisa tahu?” Scally tersipu malu, dia tersenyum sambil sesekali menoleh ke belakang padahal cowok itu sudah tidak terlihat.
Namanya Damond. Dia cakep ya? Papanya orang Rusia, tetapi tidak menyukaiku,” tuturnya kemudian berubah muram.
Berteman saja dulu, jangan pacaran. Kalau aku sudah menikah baru kamu pacaran!” godaku lagi dengan logat memelas berusaha mengalihkan pembicaraan.
Dia pun kemudian tertawa dan merangkulku seraya berjanji tidak akan pacaran sebelum aku menikah. Dia bilang ingin menjadi host saat pesta pernikahanku nanti. Dia tidak tahu kalau pernikahan di desa dan di sini jauh berbeda.
Dari Scally aku banyak belajar tentang hidup, belajar mengerti sesuatu yang mungkin tak bisa diungkapkan oleh orang lain. Kita tak bisa menilai seseorang dari luarnya saja, apalagi hanya berdasar dari penuturan orang lain. Scally yang dijuluki anak nakal oleh hampir seluruh orang yang mengenalnya, pun ternyata memiliki sisi lain dari itu. Sama seperti anak-anak lainnya yang lucu dan penuh warna. Gadis yang ternyata memiliki semangat besar dalam menjalani hari-harinya dan sangat peduli pada orang lain. Seperti tadi, usai makan siang dia pun membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Melipat baju dan menatanya dengan rapi.
Sudah hampir setengah jam Scally masuk ke kamar mandi setelah dia mendapatkan telepon dari Damond. Namun aku mulai khawatir karena sudah sepuluh menit berlalu, belum juga terdengar suaranya lagi. Aku ragu untuk mengetuk pintu, karena dia pasti akan marah. Dengan sangat hati-hati aku naik ke atas mesin cuci di sisi kamar mandi. Meski sulit, tetapi aku akan bisa melihatnya dari celah kipas angin. Aku khawatir dia sedang melakukan hal-hal buruk yang tidak seharusnya. Aku tahu betul di sini anak seusia dia sudah paham dan tahu tentang seks. Semoga dugaanku itu salah, dan aku akan segera turun sebelum dia menyadari aku mengintipnya.
Aku terperanjat, melihat tubuh Scally tergeletak di lantai. Tanpa banyak berpikir dan ancang-ancang aku segera melompat turun.
Scally, bangun! Buka pintu!” kugedor-gedor pintu dan terus berteriak membangunkannya. Namun tak ada reaksi, aku membongkar laci di meja TV dan mencari kotak kunci yang pernah sinsang tunjukan. Sayang aku lupa yang mana kunci pintu kamar mandi. Dengan gemetar satu persatu kunci kumasukan, namun hingga kunci terakhir pintu tetap tak terbuka. Aku yakin salah satu kunci pasti cocok, aku mencobanya lagi. Berusaha lebih tenang memasukan kunci dan memutarnya perlahan. Hingga akhirnya pintu terbuka dan membuat jantungku seakan hampir lepas.
Scally tergeletak tak sadarkan diri dengan HP jatuh tak jauh dari tangannya. Sekuat tenaga aku membopong tubuhnya. Namun tenagaku tak cukup kuat. Aku menelepon pihak keamaan gedung meminta bantuan, lalu menelepon kedua majikan. Lima menit kemudian bel berbunyi, seorang petugas keamanan itu kupersilakan masuk dan segera memintanya membopong Scally ke sofa. Aku terus berusaha membangunkannya, itu yang sinsang perintahkan bila Scally tiba-tiba tidak sadarkan diri. Dia tak boleh pingsan lebih dari satu jam. Aku mengambil handuk basah, mengusapkannya ke wajah Scally. Sementara security tadi sudah memanggil ambulan.
Scally masih tidak sadar, aku memercikan air ke wajahnya, mencubit tangannya, tetapi semuanya tidak berhasil. Duapuluh menit berlalu, pada saat itu juga sinsang pulang bersama petugas ambulan yang membawa kereta dorong. Mereka mengangkat tubuh Scally dan membawanya pergi. Aku masih kalap, dan ketakutan. Airmataku juga sudah mengalir deras sejak tadi. Aku takut terjadi sesuatu pada Scally dan itu pasti salahku. Harusnya aku tidak mengijinkan dia membantuku mengerjakaan pekerjaan rumah. Harusnya aku melarang dia menerima telepon di kamar mandi.
Damond? Aku harus meneleponnya. Mungkin dia tahu sesuatu. Tergopoh-hopoh aku memungut handphone Scally yang masih tergeletek di kamar mandi. Aku menekan nomor panggilan terakhir, nomer Damond. Namun telepon ditolak, sekali lagi aku meneleponnya, tetap tidak diangkat. Aku menulis pesan pada Damond dan mengabarkan keadaan Scally. Mungkin Damond bisa datang dan membantu menyadarkan gadis itu.
Telepon berdering, dan itu sinsang. Dia menyuruhku bersiap-siap ke rumah sakit. Akan ada taksi yang menjemputku nanti. Aku pun berkemas, memasukan perlengkapan sehari-hari yang mungkin Scally perlukan. Juga gantungan kunci cinderella pemberian Damond yang selalu menggantung di tas Scally. Aku berharap tak terjadi sesuatu yang buruk pada gadis itu.
***
Aku duduk di ruang tunggu. Tubuhku pun lemas, karena sudah hampir dua hari ini tidak makan. Seminggu sudah Scally tidak sadarkan diri dan sekarang dia dalam keadaan koma. Tak banyak yang bisa kulakukan selain berdoa agar Allah segera membangunkannya. Aku akan mengatakan padanya bila dia boleh pacaran meski aku belum menikah.
Aku masih ingin bermain-main dengannya. Mencoba resep cookies terbaru. Membuat donat, bolu kukus juga kue-kue Indonesia yang ternyata sangat dia suka. Aku ingin melihat dia ceria lagi, meski sinsang selalu berkata bahwa mungkin waktu Scally telah tiba. Sementara thai-thai selalu berkata tidak, itu tidak boleh terjadi. Dan hatiku pun meneriakan hal yang sama.
Dia bukan gadis nakal seperti yang dikatakan pembantu indonesia waktu itu. Dia tidak pernah memukulku, bahkan dia kerap memelukku. Dia hanya butuh teman, dan aku masih ingin menjadi teman baiknya seperti yang dia bilang. Rasanya baru kemarin aku melihat gadis yang terkulai lemah itu tertawa riang. Sekarang dia kembali terbaring lemah dengan selang-selang yang menempel di hidung, pelipis dada dan tangan. Hanya dari grafik yang muncul di monitor yang membuat semua orang yakin dia masih hidup.




Catatan :
Sinsang : Tuan
Thaithai : Nyonya
Cece : Mbak
Cosan : Selamat pagi



NOTE : Cerpen ini dimuat Media Berbahasa Indonesia di Hong Kong yaitu Berita Indonesia


Baca juga Ghendis

Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Posting Komentar