KONTAK SAYA

Sepasang Mata Nila



Sepasang Mata Nila
Oleh : Rainy Okkie


Aku tersungkur sembari memegangi pipiku yang perih. Aroma anyir tercium ketika darah segar terasa mengalir dari sudut bibir dan air mata pun terus menggenangi kelopak mataku. Namun aku masih bisa melihatnya berkacak pinggang dengan tubuh setengah fly pengaruh berbotol alkohol yang Eka tenggak. Dia mendekat, tubuhku gemetar, tanpa ampun dia mencekoki tenggorokanku dengan minuman menyebalkan itu hingga aku tak lagi merasa dan melihat apa pun. Gang kecil di Wu Hong Street pun semakin gelap.
***
Hari ini, untuk pertama kalinya aku harus menikmati libur sendiri, tanpa Eka dan tanpa menjalankan misi membawanya kembali ke pangkuan ibu. Sepertinya sendiri lebih baik, bila boleh memilih aku tidak ingin menjadi adiknya, dia hanya bisa menyakiti ibu dan merepotkan semua orang termasuk aku. Dia tidak peduli betapa ibu sangat menyayanginya, bahkan memintaku berkorban segalanya untuk mencari dia hingga ke tempat ini. Sejak ibu tahu keadaannya yang berantakan, ibu hanya memikirkan dia dan mungkin lupa bila aku juga seorang anak yang berhak atas kasih sayang dan perhatian yang sama.
"Sampai kapan pun, aku nggak akan peduli lagi sama hidupnya. Biar mau jadi apa, terserah. Sudah cukup apa yang kulakukan. Meski ibu akan kecewa, tapi kurasa aku juga berhak untuk kecewa," umpatku pada diri sendiri.
Aku terus melangkah di sisi pagar pembatas pantai memandangi kapal-kapal barang yang terapung di lautan. Di ujung laut gedung-gedung nampak kecil, dan beberapa menit sekali pesawat terbang terlihat melintas naik atau sebaliknya mendarat menuju bandara.
Cukup jauh melangkah, sampailah aku di hamparan pasir yang luas dengan air laut kebiruan. Beberapa petak dibatasi sebagai wilayah aman untuk berenang. Mungkin bila hari Minggu, pantai akan ramai dan saat ini aku sangat berharap memiliki teman untuk duduk bersama, bertukar cerita dan suasana di rumah majikan. Sayangnya hanya Eka yang kukenal di sini.
Kutanggalkan sepatuku dan berjalan menyusuri bibir pantai. Pasir-pasir berubah kasar dan menggelitik telapak kaki. Kulayangkan pandangan ke laut lepas, merasakan hantaman ombak membasuh sebagian kakiku.
Ahhhhh
Suatu benda tipis dan tajam menyayat telapak kakiku membuat air di sekitarnya pun memerah dan kakiku semakin terasa perih. Tertatih aku berjalan menepi, dan sial aku tak memiliki apa pun kecuali sebungkus tisu untuk mengatasi luka yang ternyata cukup dalam.
Hati-hati, banyak kulit kerang. Sini aku bantu!” Seorang wanita berjilbab sudah meluruskan kakiku, menyiram bagian yang terluka dengan sebotol air minum lalu membalutnya dengan sapu tangan.
Makasih, Aku Dwi!” ucapku seraya tersenyum menyembunyikan rasa sakit
Sama-sama aku Nila.”
Wanita itu balas tersenyum, dan membuatku terkejut saat melihat satu matanya yang terkatup rapat.
Maaf kalau wajahku membuatmu takut.” Nila bangkit, mengibaskan pasir-pasir yang menempel di roknya yang lebar kemudian beranjak pergi.
Segera aku meraih tangannya, “Boleh aku ikut?"
Ikutlah!"
Nila memapahku lalu kami berteduh di bawah pohon rindang yang bertengger tak jauh dari pantai. Kami duduk di atas tikar, dia menawarkan sebuah jeruk dan segera mengupasnya setelah aku mengangguk. Di depan kami sebuah papan lukis dengan kertas yang sudah bergambar seolah merebut perhatian. Sketsa seorang wanita berjalan dipinggir pantai, rambutnya ikal berterbangan diterpa angin. Kuperhatikan baik-baik gambar itu, dan aku terhenyak ternyata wanita itu tak lain diriku sendiri.
Kamu pelukis?”
Nila tersenyum beberapa saat, mendesah napas pelan sebelum menjawab, “Aku pembantu juga, sama sepertimu. Mungkin kamu suka jalan-jalan sedangkan aku suka melukis.”
Aku kembali tertegun mendengar jawaban yang sebenarnya tak menjawab pertanyaanku.
"Aku nggak suka jalan-jalan, ini pertama kalinya, dan ternyata kesialan yang kudapatkan,” ujarku seraya mengangguk pada balutan di kakiku.
Nila menoleh, menatapku penuh penekanan dan berkata, “Ketika kamu bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian kamu akan selalu bersyukur dengan semua yang kamu alami, percayalah.”
Aku kembali terhenyak dengan kalimatnya yang begitu dalam menohok hatiku. Melemparkanku pada kekerdilan jiwa selama ini. Memperlihatkan diriku yang selalu mengeluh tak pernah puas dan selalu menyalahkan keadaan. Mungkinkah selama ini aku telah merugi karena semua kejadian berlalu sia-sia sebatas sebagai peristiwa yang berakhir tanpa memberiku pelajaran?
Segala yang terjadi memang sudah seharusnya terjadi, kamu percaya kan bahwa semua terjadi karena Dia berkehendak? Kita hanya menjalani peran dan adegan dengan baik. Memetik hikmah yang telah Dia siapkan agar kita memiliki bekal untuk hari berikutnya," tuturnya tenang lalu menepuk bahuku lembut. Satu matanya berbinar cerah, dan aku yakin satu mata lainnya pun berbinar sama indahnya.
Kamu benar, kalau aku nggak cedera mungkin kita nggak akan duduk bareng di sini," ujarku jujur meski sedikit malu untuk mengakui bahwa aku mulai berterimakasih pada kulit kerang yang telah mempertemukanku dengannya.
Semua sudah diatur, maaf aku tidak meminta ijin melukismu sebelumnya.”
Setelah meletakkan jeruk tadi di dekatku, Nila kembali memainkan pensilnya dengan gerakan lincah tetapi lembut.
Perlu aku berdiri di sana lagi?” Aku mencoba berdiri tetapi Nila melarangnya.
Dia menggeleng dan kembali memainkan pensilnya. Menebalkan beberapa sisi agar muncul kesan gradasi pada lukisan itu. Aku terus memperhatikannya, sesekali jilbabnya berkibar diterpa angin dan menghalangi pandanganku.
"Aku salut, kamu-," aku berhenti sejenak berharap ucapanku nanti tak menyakitinya, "Maaf, dengan kekuranganmu, kamu bisa melakukan semua ini."
Aku terdiam menunggu ekspresi Nila selanjutnya. Sungguh aku takut membuatnya tersinggung. Namun dia tetap asyik, tak menoleh dan tak berucap apa pun. Sementara aku yakin suaraku cukup keras untuk dia dengar.
"Maaf, aku nggak bermaksud. Eh, aku hanya ingin kamu ceritakan bagaimana menjalaninya dengan begitu sabar?"
Nila menoleh, tersenyum lalu meletakan pensilnya dan duduk di sebelah kananku. Aku mengamati wajahnya, kulitnya kecoklatan tetapi bersih. Bulu matanya lentik, sementara tulang hidungnya yang menonjol mengalingi mata kanannya. Dia memandang jauh ke hamparan pasir hingga ke permukaan laut, mungkin juga melampaui gedung-gedung di ujung lautan.
"Ketika kita menerima segala sesuatu sebagai takdir, kita akan menemukan titik bahagia di setiap hal yang terjadi."
Nila menyelonjorkan ke dua kakinya dan kembali berkisah, "Tiga tahun lalu, aku sama sepertimu, memiliki sepasang mata bulat yang teman-teman bilang sangat indah. Namun, suatu hari, Rachel dan Tom bertengkar. Mereka adalah anak majikan yang kurawat, mereka saling melemparkan apa saja yang dapat mereka temukan. Aku berteriak, berusaha melerai. Rachel menangis tetapi tetap melawan kakaknya. Aku membopongnya, dan tiba-tiba Tom melempar garpu kecil milik Rachel ke arah kami dan tepat mengenai mataku. Perih, kepalaku berdenyut hebat. Darah mengalir dengan begitu cepat membasahi wajahku dan bercampur dengan air mata. Aku menangis dan berteriak minta tolong. Tom berlari keluar, sementara Rachel beranjak ketakutan tanpa bisa melakukan apa pun."
Nila menarik napas dalam sementara aku tercekat mendengarnya sambil memejamkan mata. Aku tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya. Tamparan Eka malam itu saja masih terasa sakitnya hingga kini dan masih membiru di dalam hatiku. Apalagi dengan Nila?
"Segala yang kita miliki hanya titipan, kapan pun Allah berkehendak, Dia akan mengambilnya kembali dan kita tak akan pernah bisa mengelak."
Nila terdiam, suasana tiba-tiba hening hanya desah napas lembut Nila sayup-sayup terdengar di sela-sela degub jantugku yang berdetak tak beraturan.
"Kamu begitu kuat bisa melewati semua itu," tuturku memecah keheningan.
"Kamu salah, Dwi!" Nila menoleh dan menatapku tajam, matanya mengisyaratkan sesuatu yang entah apa.
"Aku manusia biasa. Siapa yang tidak akan menangisi satu matanya yang hilang? Menjadi cacat dan buruk rupa? Aku terus meratap, membenci dan menyalahkan Tom. Menyalahkan takdir juga--," bantahnya dengan nada tinggi diakhiri hembusan napas mengisyaratkan sesal, sedih atau kecewa yang mungkin masih tersisa dalam hatinya.
Dia sudah kembali menatap jauh ke lautan, bola matanya bergerak-gerak digenangi air mata yang perlahan meleleh dari sudut matanya. Aku ingin memeluknya, tetapi aku tidak berani. Aku menyesal telah menanyakannya dan membuat dia kembali teringat derita itu. Namun tak berapa lama, aku melihat ujung bibirnya terangkat, dia tersenyum.
"Mereka berjanji melakukan apa pun dan bersedia mengganti rugi berapa pun. Tom, berusaha menebus kesalahannya. Dia berjanji menjadi kakak yang baik asal aku mau memaafkannya. Namun apa pun yang mereka lakukan tetap tak akan pernah mengembalikan mata itu,. Allah telah mengambilnya dariku."
Sesaat kemudian dia menatapku, tersenyum lebar meski matanya masih basah, dan aku hanya berani menatap satu matanya. Benarkah dia telah mengikhlaskan semua? Tragedi yang begitu besar dan begitu mudahkah dia memaafkan anak itu? Lalu bagaimana dengan diriku? Apakah aku tidak bisa memaafkan Eka, kakak kandungku sendiri dan begitu mudahnya menyerah membawa dia kembali dalam pangkuan ibu yang bertahun-tahun merindukannya?
"Hampir setengah tahun aku menjadi ratu di rumah itu, lambat laun aku sadar bila semua itu bukan salah Tom. Rachel selalu berkata terimakasih karena telah menyelamatkannya. Aku terharu melihat penyesalan mereka demi sebuah maaf dariku. Suatu hari di Minggu pagi, kami semua pergi ke pantai ini, Butterfly Beach. Aku mengenakan jilbab lebar dan memakainya agak ke depan untuk menutupi wajahku yang menyeramkan. Di rumah-rumahan itu," Nila menunjuk sebuah gapura tanpa dinding dengan bangku kayu panjang di setiap sisinya di belakang kami, aku bisa melihatnya dari celah pagar pembatas pantai.
"Aku bertemu Halimah, seorang TKW yang sudah berangkat Haji dan aktif berdakwah. Kamu akan menemuinya setiap minggu di sini. Dialah yang menuntunku kembali dalam ke Tauhidan. Dia memberiku pencerahan, bahwa semua yang kita miliki adalah titipan. Allah yang berhak menentukan kapan dan dengan cara bagaimana Dia akan mengambilnya kembali. Dan Tom, dialah cara yang membawaku kembali kepada-Nya. Mengingatkan agar aku menyerahkan segala hidup pada-Nya yang memberi hidup."
Aku memeluk Nila, menumpahkan segala tangisku dipundaknya. Dia membalasnya, dan aku merasakan kedamaian yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Ternyata aku yang kecil ini begitu pongah dalam menatap hidup. Tak bisa berbesar hati untuk memaafkan Eka yang mungkin saja waktu itu dia tak sadar telah melakukannya.
"Nila, apa yang harus kulakukan? Kakak perempuanku, dia 8 tahun sudah tinggal di sini, terjerumus dalam kehidupan malam, alkohol dan seks bebas. Aku harus membawanya kembali."
"Astaghfirullah!"
"Aku takut Nila. Dua minggu lalu dia menghajarku saat kutemui di diskotik. Dia mencekokiku dengan berbotol alkohol hingga over dosis. Hatiku sakit Nila diperlakukan begitu setelah semua kulakukan demi kebaikan hidupnya. Aku benci dia, karena dia ibu menderita. Aku harus bagaimana?" paparku sambil menangis tersedu.
"Istighfarlah, Dwi! Bantu dengan doa, ajaklah dia bicara dan merenung di tempat yang nyaman." Tangannya mengusap-usap punggungku lembut.
"Nila, ajari aku! Ajari aku agar ikhlas menjalaninya. Selama ini aku iri karena ibu lebih menyayangi dia daripada aku.
Aku kembali memeluknya dan terus menangis hingga urat-urat di pelipis pun terasa kaku. Nila terus menuntunku beristighfar hingga tangisku mereda.
Ibu, percayalah! Eka akan kembali bersama kita. Maafkan aku selama ini berburuk sangka akan kasihmu. Aku yakin, Ibu pun sangat menyayangiku. Itu sebabnya Ibu percaya aku bisa melakukannya untukmu, kan? Bisikku dalam hati.
"Kamu bisa belajar melukis, bermain piano atau gitar kalau kamu mau."
"Piano? Saat SMP dulu, Eka pernah bilang ingin menjadi seorang pianis. Kamu bisa main piano juga? Aku bersedia belajar untuknya," sahutku takjub.
"Bukan aku, tapi seorang pemuda mualaf yang mengajariku melukis."
"Pemuda mualaf? Apa kamu yang mengajaknya masuk Islam? Apa dia kekasihmu?"
"Hati seseoranglah yang seharusnya membawa orang itu mengikuti suatu keyakinan, Dwi. Dia bukan kekasihku, dan biarlah Allah yang menentukan apakah dia menjadi jodohku, begitupun dengan kakakmu, hati nuraninyalah yang akan membawanya pada kalian lagi. "
Aku mengangguk, meski belum ada gambaran sedikitpun tentang cara seperti apa yang harus kulakukan untuk menyadarkan Eka, tetapi setidaknya aku tahu, bahwa tidak seharusnya aku menyerah. Eka, dia harus kembali.


Hong Kong, 7 Agustus 2015

Cerpen ini juga dimuat di Media Berita Indonesia (Hong Kong) edisi Desember 2015

Baca juga Scaly Gadis Nakal




Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Posting Komentar